Secara material, emas dan perak adalah benda universal.
Artinya dari mana pun asalnya kedua benda mulia ini memiliki kualitas yang sama, sepanjang kemurniannya sama.Tidak ada fakta bahwa emas Indonesia lebih bermutu dibanding emas Amerika Serikat, atau perak Cikotok lebih baik dibanding perak dari Papua. Secara historis, dan dalam pengalaman nyata kehidupan umat manusia dalam kurun ribuan tahun, emas dan perak juga memiliki nilai tukar yang universal.
Dalam konteks itulah kita dapat memahami kembali pernyataan Imam Ghazali bahwa emas dan perak adalah hakim muamalat yang paling adil. Emas dan perak tidak dapat dimanipulasi. Nilai tukarnya bukan saja universal tetapi juga tak pernah berubah. Secara alamiah emas dan perak tidak mengandung inflasi. Fluktuasi nilai tukarnya, kalau terjadi, hanya bersifat sementara dan sepenuhnya akibat dari berlakunya hukum pasokan-permintaan, dan selalu dalam kaitannya dengan komoditas lain. Peningkatan harga emas dan perak yang kita lihat saat ini adalah akibat kaca mata kita yang terbalik, memandangnya dari penurunan nilai mata uang kertas.
Dalam sistem uang kertas, yang memungkinkan penggelembungan terus menerus, untuk memenuhi nafsu manusia -dalam syariat kita sebut riba- krisis finansial dan moneter adalah keniscayaan. Dalam sistem mata uang bimetalik (emas dan perak) krisis semu semacam ini tidak pernah kita kenal. Karenanya secara naluriah setiap kali menghadapi krisis kesadaran manusia akan kembali kepada sang hakim adil di atas, yaitu emas dan perak.
Kaum muslim sungguh beruntung, sebagaimana Ibnu Khaldun menyatakannya, bahwa Allah Subhanahu wa tala menciptakan emas dan perak ini dan mengajarkan kepada kita, melalui Rasul salallahu alaihi wassalam, sebagai alat tukar yang sah. Dinar dan Dirham telah dibakukan dan ditetapkan dalam syariat Islam sebagai alat tukar, alat bayar denda, alat menghitung dan membayar zakat mal, sebagai timbangan atas nilai, meskipun sempat hampir seabad lamanya kita lupakan dan abaikan.
Sampai saat ini telah sekitar satu dasawarsa Dinar emas dan Dirham perak kembali beredar, juga di Indonesia. Setiap hari jumlah koin dan pemakainya bertambah. Persebarannya juga semakin luas. Maka, dengan kehendak Allah Subhanahu wa tala, kembalinya sang hakim adil ini menjadi alat tukar universal, menjadi mata uang dunia, hanyalah soal waktu. Dulu pernah terjadi, dan kelak juga akan terjadi kembali.
Lihatlah pertanda lainnya, di luar telah kembali beredarnya Dinar emas, yang dipikirkan kalangan nonmuslim. Dalam merespon krisis dunia saat ini Russia dan Cina telah mengusulkan adanya 'supranational currency'. Dan dalam konteks ini tersebutlah seorang mantan wartawan bernama Alessandro Sassoli, yang mengusulkan agar uang dunia ini terbuat dari emas. Presiden Russia, Dmitry Medvedev, dalam pertemuan G-8, pertengahan Juli 09 lalu, memperlihatkan koin emas yang belum diberi nama tersebut, dan Medvedev telah mengatakan bahwa 'boleh jadi kita akan segera memiliki uang serupa ini.'
Dalam prototipe koin emas yang diusulkan Sassoli lewat Medvedev ini tertulis satuan '1', dan bukan angka nominal seperti uang kertas, dengan kata-kata 'unity in diversity' di satu sisi dan 'united future world currency' di sisi lain, dengan ornamen selembar daun bersisi lima. Koin ini dicetak oleh Royal Belgian Mint. Perancangnya dua orang, yaitu Luc Luycx, perancang sisi umum koin euro, dan Laura Cretara, mantan pekerja di Italian State Mint. Koin emas ini berdiameter 29 mm dengan berat 15.55 gram, emas murni (24 Karat).
Adakah kemiripan dengan Dinar emas? Tentu saja. Koin emas Sassoli ini dinilai berdasarkan timbangannya, nilai intrinsiknya, dan bukan nilai nominalnya. Dilihat dari standarnyapun sangat compatible dengan Dinar. Berat koin ini adalah 15.55 gram, atau 0.5 troy ounce, dengan kadar 24 Karat. Ini senilai dengan 4 koin Dinar (17 gram), dalam kadaar yang sekarang, emas 22 Karat. Dengan kata lain 1 Dinar sama dengan 1/4 'Koin Sassoli'. Dengan demikian keduanya akan dapat dipertukarkan secara paralel. Hukum pertukaran (dalam hal ini emas dengan emas) mensyaratkan kesetaraan dalam jumlah dan kadar, dan secara kontan.
Jelaslah, bila koin Sassoli ini benar-benar direalisasikan dan diterima secara internasional, misalnya benar Medvedev menindaklanjutinya secara resmi, secara otomatis itu berarti penerimaan secara universal Dinar emas. Tetapi sebaliknya, kalaupun ide Sassoli di atas tidak menjadi kenyataan, umat Islam telah berada di depan. Dan kita, atas bimbingan Shaykh Abdalqadir as-Sufi dan murid utamanya, Umar Ibrahim Vadillo, sejak satu dasawarsa lalu, telah mulai mewujudkannya.
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
Baca Selengkapnya..
Kamis, 03 September 2009
Minggu, 10 Mei 2009
PERCETAKAN UANG ERA KEJAYAAN ISLAM
Uang Koin di Era Dinasti Umayyah
(661 M - 750 M)
Diawal kekuasaannya, Dinasti Umayyah menggunakan koin perak sassanin (persia) diwilayah irak dan iran. Sedangkan, diSuriah dan Mesir, kekhalifahan Umayyah menggunakan koin emas dan tembaga berasal dari percetakan mata uang yang didirikan pada masa pemerintahan Khalifah Muawiyah bin abu Sufyan.
Kemudian, untuk menyatukan wilayah-wilayah yang dikuasainya, Khalifah Abdul Malik (687 M - 705 M) mulai mencetak koin emas pada tahun 691 M. Koin emas yang dicetak tersebut berbobot 4,4 gr dengan mencantumkan tulisan dinar. Dua tahun berikunya, pemerintahan Khalifah Abdul Malik kembali mencetak dinar yang bobotnya berubah menjadi 4,25gr karena mengikuti standar yang ditetapkan Khalifah Umar bin Khattab.
Pada tahun 75 H / 695 M, Khalifah Abdul Malik memerintahkan salah seorang gubernur yang berkuasa pada masa itu, hajjaj bin yusuf as-Saqafi, untuk mencetak uang koin perak atau dirham dan menggunakan standar yang ditetapkan di era Umar bin Khatab. Koin perak bertuliskan dirham itu berbobot 2.975gr dan berdiameter 25 - 28 mm.
Koin emas pada zaman itu dicetak secara khusus di Damaskus-ibukota kekhalifahan Umayyah. Sedangkan koin perak dan tembaga dicetak dikota-kota yang dikuasai oleh Dinasti Umayyah. Setiap koin yang dicetak pada saat itu bertuliskan kalimat tauhid, yaitu Allahu ahad, Allahu samad. Sejak saat itu, dilakukan penghentian penggunaan gambar wujud manusia dan binatang dari mata uang peradaban islam itu. sebagai gantinya, digunakan huruf-huruf.
Dinar dan Dirham lazimnya berbentuk bundar. Selain itu, tulisan yang dicetak pada dua sisi koin emas dan perak itu memiliki tata letak yang melingkar. Pada satu sisi koin tercantum kalimat tahlil dan tahmid, yaitu La illaha illa Allah dan Alhamdulillah. Sedangkan disisi lainnya, tertera nama penguasa (amir) dan tanggal dicetak. Selain itu, terdapat suatu kelaziman untuk menuliskan shalawat kepada Rasulullah SAW dan Ayat-ayat Alqurandalam koin dirham dan dinar itu.
Pada era Khalifah selanjutnya, Dinasti Umayyah mencetak dinar yang bernilai setengah dan sepertiga dinar, ukuran dan beratnya jauh lebih kecil dan ringan dengan uang koin bernilai satu dinar. Setelah menguasai wilayah Afrika Utara dan Spanyol, penguasa Umayyah mulai membangun percetakan uang koin diprovinsi itu. Khalifah pun bertanggung jawab untuk memastikan kemurnian dan berat koin yang dicetak.
KOIN KEKHALIFAHAN ABBASIYAH
(750 M - 1258 M)
Ketika kekuasaan kekhalifahan umayyah jatuh, percetakan koin di Damaskus pun ditutup. Di era awal kekuasaannya, Dinasti Abbasiyah mulai mencetak koin di Kufah-ibukota pertama kekhalifahan abbasiyah. Pada masa pemerintahan Khalifah al-Mansur, kota baghdad mulai dibangun. Disana khalifah al-Mansur mendirikan percetakan dirham. Kemudian, ketika Khalifah Harun ar-Rasyid naik tahta, ia memindahkan percetakan uang dari kufah ke Fustat, kota tua di Kairo. Sedangkan, percetakan dirham yang telah dibangun diatas Baghdad tetap dipertahankan. Pada masa itu, koin emas mulai dicetak. Koin emas itu dicetak atas nama Gubernur Mesir. Percetakan koin di Mesir ini terbilang produktif. Setiap cetakan koin dari provinsi itu selalu mengatasnamakan Gubernur yang didedikasikan bagi khalifah.
Khalifah Al-Ma’mun (813 M) yang mengantikan Harun ar-Rasyid mulai mencetak beragam jenis koin. Dengan cita rasa artistik yang tinggi, al-Ma’mun memperbaiki tampilan koin. Sehingga koi yang dicetak tampak lebih indah. Apalagi, tulisan yang tertera pada koin menggunakan tulisan indah khas Kufah atau Kufi.
KOIN ANDALUSIA
(711 M - 1494 M)
Berbeda dengan wilayah Arab lainnya yang ditaklukkan Islam yang menggunakan koin penguasa sebelumnya, penguasa Islam mencetak khusus koin emas yang baru ketika menguasai Spanyol pada 711 M. Tulisan yang tercantum dala koin itu adalah huruf Latin. Dinar khas Andalusia itu dicetak secara langsung dikota itu. pada tahun 720 M, Koin Arab asli pertama kali masuk kewilayah itu. gaya dan tulisan yang tercantum dalam koin itu menandakan bahwa dinar itu berasal Afrika Utara yang dicetak setahun sebelumnya. Muslim andalusia juga mulai memakai koin yang bernilai setengah dinar yang dicetak di Damaskus pada 719 M. Koin emas terakhir yang dicetak di Andalusia di cetak pada era Nasrid Granada (1238 M-1492 M).
Kekhalifahan Fatimiyah
(909 M-1171 M)
Tiga khalifah pertama dari kekhalifahan Fatimiyah yang berkuasa di tiga ibu kota berbeda, yakni Quayrawan, Al-Mahdiya, dan Sabra-Mansuriyah, mencetak koin emas dan perak sesuai dengan kebiasaan ortodok Sunni. Pada tahap awal, dinar yang dicetak di Al-Mahdiyah mengikuti model dan ukuran lebih besar serta desain yang digunakan Dinasti Aghlabid. Pada tahun 912 M, dinasti itu mulai mencetak dinar yang ringan dan berukuran lebih besar dengan menggunakan tulisan indah Kufi.
Pada tahun 922 M, percetakan uang dipindahkan ke Al-Mahdiyah dan lalu ke Al-Mansuriyah. Khalifah Al-Qasim pada tahun 934 M mulai mengganti desain dan mulai mengadopsi tulisan indah Kufi. Koin yang bernilai seperempat dinar juga dicetak di dinasti itu dari wilayah kekuasaannya di Sicilia. Ciri Khas koin Fatimiyah yang beraliran syiah adalah pernyataan yang mengungkapkan pertalian dengan Ali bin Abi Thalib.
Sumber : Harian Umum Republika, ahad, 26 April 2009 Baca Selengkapnya..
KEUNGGULAN DINAR EMAS
Selain mata uang kertas yang dikenal saat ini, sejumlah komoditas, seperti emas, perak, beras gandum dan terigu bisa juga dipakai sebagai alat tukar sepanjang diterima oleh masyarakat.
Namun, dari sekian banyak macam alat tukar, emas dan perak memiliki banyak keunggulan dibandingkan alat tukar lainnya. Kepala Departemen Bisnis Administrasi dan Manajemen Internasional Islamic University Malaysia, Ahamed Kameel Mydin Meera, dalam bukunya yang berjudul The Islamic Gold Dinar setidaknya menyebutkan bahwa ada tujuh dampak positif dengan menggunakan mata uang dinar emas.
Ketujuh dampak positif tersebut adalah sebagai berikut :
• Membuat sistem moneter dan keuangan suatu negara lebih stabil.
• Nilai tukarnya tidak pernah jatuh secara drastis.
• Karena terbuat dari emas, bisa mengurangi kemungkinan terjadinya spekulasi dan manipulasi terhadap nilai tukarnya.
• Mengurangi tingkat resiko dalam berbisnis
• Memperluas promosi perdagangan antar negara
• Menciptakan harmonisasi antara sektor riil dan sektor keuangan\mengatasi berbagai macam persoalan sosial, seperti kemiskinan, kesehatan, dan ketimpangan distribusi pendapatan.
• Menjadi alat proteksi suatu negara dari dominasi ekonomi dan kebudayaan negara lain. Baca Selengkapnya..
Namun, dari sekian banyak macam alat tukar, emas dan perak memiliki banyak keunggulan dibandingkan alat tukar lainnya. Kepala Departemen Bisnis Administrasi dan Manajemen Internasional Islamic University Malaysia, Ahamed Kameel Mydin Meera, dalam bukunya yang berjudul The Islamic Gold Dinar setidaknya menyebutkan bahwa ada tujuh dampak positif dengan menggunakan mata uang dinar emas.
Ketujuh dampak positif tersebut adalah sebagai berikut :
• Membuat sistem moneter dan keuangan suatu negara lebih stabil.
• Nilai tukarnya tidak pernah jatuh secara drastis.
• Karena terbuat dari emas, bisa mengurangi kemungkinan terjadinya spekulasi dan manipulasi terhadap nilai tukarnya.
• Mengurangi tingkat resiko dalam berbisnis
• Memperluas promosi perdagangan antar negara
• Menciptakan harmonisasi antara sektor riil dan sektor keuangan\mengatasi berbagai macam persoalan sosial, seperti kemiskinan, kesehatan, dan ketimpangan distribusi pendapatan.
• Menjadi alat proteksi suatu negara dari dominasi ekonomi dan kebudayaan negara lain. Baca Selengkapnya..
Senin, 27 April 2009
Satu Keluarga, Satu Dinar
Akhir pekan lalu, menjelang berakhirnya bulan April 09, terbetik berita bahwa Republik Rakyat Cina (RRC) telah menambah cadangan emasnya, hingga mencapai 1.054 ton. Padahal sebelumnya cadangan emas Cina "cuma" 600 ton. Jadi, penambahannya lebih dari 450 ton, atau sekitar 75% dari cadangan semula. Tapi, siapakah yang paling tamak di dunia ini?
Amerika Serikat (AS) dengan cadangan emas sebesar 8.133.5 ton ada pada posisi nomor wahid, disusul oleh Jerman dengan cadangan 3.412.6 ton. Di posisi ketiga, bertengger International Monetary Fund (IMF), dengan timbunan emas seberat 3.217.3 ton. Pada posisi keempat dan kelima adalah Perancis dan Italia, dengan cadangan emasnya masing-masing 2.508.8 dan 2.451.8 ton. Sedangkan jumlah total emas yang telah ada di permukaan bumi ini, pada 2001, diperkirakan telah mencapai 145 ribu ton.
Dengan total cadangan emas sebanyak ini bukan saja membuat Cina berada pada posisi enam besar penimbun emas dunia, tetapi juga akan mengubah konstelasi ekonomi dunia. Bank Sentral Eropa (BSE), misalnya, hanya memiliki cadangan emas sebesar 533.6 ton. Cina kini memiliki emas hampir dua kali lipat BSE. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Cina menyadari betul betapa sumber kekuatan ekonomi ada pada jumlah emas yang dikuasainya.
Lantas di mana posisi Indonesia?
Dengan hanya memiliki sekitar 73.1 ton emas, jumlah yang bahkan di bawah rata-rata tambahan cadangan Cina, yang mencapai 90 ton/tahun, Indonesia ada di urutan ke-37. Padahal, negeri ini memiliki sumber cadangan emas yang cukup besar, bahkan salah satu deposit emas terbesar di dunia, yakni Grassberg, ada di negeri ini, di Papua Barat. Lalu kemana emas kita? Kemungkinan terbesarnya mudah kita duga: diekspor ke luar negeri. Dengan demikian emas kita justru mengisi kocek negara-negara dan lembaga lain tersebut di atas. Tetapi, siapakah yang menguasai emas-emas tersebut, betulkah negara?
Tabel 1. Daftar Beberapa Negara dan Cadangan Emasnya (Wikipedia, 2009)
Negara/Lembaga Cadangan Emas (ton)
AS 8.133.5
Jerman 3.412.6
IMF 3.217.3
Perancis 2.508.8
Italia 2.451.8
RRC 1.054.0
Indonesia 73.1
Dengan pengamatan sedikit lebih teliti saja kita akan temukan bahwa mayoritas emas itu dimiliki dan ditimbun oleh bank-bank sentral atau lembaga-lembaga keuangan swasta lainnya, seperti IMF. Artinya oleh perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh beberapa gelintir bankir. Memang, tak banyak masyarakat yang menyadari, bahwa bank-bank sentral bukanlah milik pemerintah, melainkan perusahaan-perusahaan swasta. Mayoritas saham Federal Reserve of America (Bank Sentral AS), untuk sekadar sebagai contoh, dimiliki oleh Citibank (15%) dan Chase Manhattan Bank 14%). Sisanya dibagi oleh 25 bank komersial lainnya, antara lain Chemical Bank (8%), Morgan Guaranty Trust (9%), Manufacturers Hannover (7%),dan beberapa perusahaan lainnya.
Sistem riba yang berlangsung saat ini memang menjamin bahwa cadangan emas berada di tangan segelintir orang. Karena itu, kembalinya dinar emas dan dirham perak, sebagai awal kembalinya muamalat merupakan sarana tepat untuk mengembalikan emas ke tangan masyarakat umum. Dari sekoin demi sekoin dinar emas yang ada dalam genggaman masyarakat, akan berpindahlah penguasaan emas ini dari kocek para bankir ke kantong-kantong masyarakat. Hingga, ketika jumlah emas yang ada di tangan masyarakat sudah cukup memadai, perekonomian tak mudah lagi diguncang-guncang. Pemiskinan yang berlangsung terus-menerus melalui inflasi maupun secara tiba-tiba melalui "krisis moneter" tak dapat lagi terjadi.
Di sinilah misi utama jaringan wakala yang ada di pelosok-pelosok negeri Indonesia, sebagaimana dikordinir oleh Wakala Induk Nusantara (WIN), yakni menggerakkan koin-koin dinar hingga emas berpindah dari penguasaan segelintir orang ke seluruh masyarakat, dan pada gilirannya berpindah dari tangan ke tangan melalui perdagangan. Dalam konteks ini pula mungkin ada baiknya kita melongok yang terjadi di Negeri Kelantan, Malaysia, tempat dikampanyekannya Gerakan Satu Keluarga Satu Dinar.
Dengan penduduk sekitar 240 juta orang, dengan asumsi ada 5 orang dalam satu keluarga, di Indonesia ada 48 juta keluarga. Dan dengan setiap keluarga memiliki satu dinar emas, maka akan ada 48 juta x 4.25 gram atau 204 juta gram (204 ribu ton) emas di tangan masyarakat sendiri. Melalui perdagangan, baik barang dan jasa, 48 juta dinar ini pun akan berpindah dari tangan ke tangan, sebagai sarana memeratakan kemakmuran. Melalui perdagangan barang dan jasa maka keluarga buruh-buruh pabrik dan pedagang kaki lima pun dapat memiliki dinar emas. Instrumen kedua berpindanya emas dan perak dari tangan (orang kaya) ke tangan (orang fakir miskin) adalah melalui zakat mal. Setiap tahun seharusnya ada 2.5% dari keseluruhan kekayaan Muslim kaya di Indonesia ini yang berpindah ke kaum papa.
Saat ini, pengenalan dinar dan dirham di Indonesia, harus diakui masih sangat terbatas. Karena itu sosialisasi dan pengenalan melalui kampanye masif, yang didukung oleh berbagai pihak, sangat diperlukan.
penulis : Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara Baca Selengkapnya..
Amerika Serikat (AS) dengan cadangan emas sebesar 8.133.5 ton ada pada posisi nomor wahid, disusul oleh Jerman dengan cadangan 3.412.6 ton. Di posisi ketiga, bertengger International Monetary Fund (IMF), dengan timbunan emas seberat 3.217.3 ton. Pada posisi keempat dan kelima adalah Perancis dan Italia, dengan cadangan emasnya masing-masing 2.508.8 dan 2.451.8 ton. Sedangkan jumlah total emas yang telah ada di permukaan bumi ini, pada 2001, diperkirakan telah mencapai 145 ribu ton.
Dengan total cadangan emas sebanyak ini bukan saja membuat Cina berada pada posisi enam besar penimbun emas dunia, tetapi juga akan mengubah konstelasi ekonomi dunia. Bank Sentral Eropa (BSE), misalnya, hanya memiliki cadangan emas sebesar 533.6 ton. Cina kini memiliki emas hampir dua kali lipat BSE. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Cina menyadari betul betapa sumber kekuatan ekonomi ada pada jumlah emas yang dikuasainya.
Lantas di mana posisi Indonesia?
Dengan hanya memiliki sekitar 73.1 ton emas, jumlah yang bahkan di bawah rata-rata tambahan cadangan Cina, yang mencapai 90 ton/tahun, Indonesia ada di urutan ke-37. Padahal, negeri ini memiliki sumber cadangan emas yang cukup besar, bahkan salah satu deposit emas terbesar di dunia, yakni Grassberg, ada di negeri ini, di Papua Barat. Lalu kemana emas kita? Kemungkinan terbesarnya mudah kita duga: diekspor ke luar negeri. Dengan demikian emas kita justru mengisi kocek negara-negara dan lembaga lain tersebut di atas. Tetapi, siapakah yang menguasai emas-emas tersebut, betulkah negara?
Tabel 1. Daftar Beberapa Negara dan Cadangan Emasnya (Wikipedia, 2009)
Negara/Lembaga Cadangan Emas (ton)
AS 8.133.5
Jerman 3.412.6
IMF 3.217.3
Perancis 2.508.8
Italia 2.451.8
RRC 1.054.0
Indonesia 73.1
Dengan pengamatan sedikit lebih teliti saja kita akan temukan bahwa mayoritas emas itu dimiliki dan ditimbun oleh bank-bank sentral atau lembaga-lembaga keuangan swasta lainnya, seperti IMF. Artinya oleh perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh beberapa gelintir bankir. Memang, tak banyak masyarakat yang menyadari, bahwa bank-bank sentral bukanlah milik pemerintah, melainkan perusahaan-perusahaan swasta. Mayoritas saham Federal Reserve of America (Bank Sentral AS), untuk sekadar sebagai contoh, dimiliki oleh Citibank (15%) dan Chase Manhattan Bank 14%). Sisanya dibagi oleh 25 bank komersial lainnya, antara lain Chemical Bank (8%), Morgan Guaranty Trust (9%), Manufacturers Hannover (7%),dan beberapa perusahaan lainnya.
Sistem riba yang berlangsung saat ini memang menjamin bahwa cadangan emas berada di tangan segelintir orang. Karena itu, kembalinya dinar emas dan dirham perak, sebagai awal kembalinya muamalat merupakan sarana tepat untuk mengembalikan emas ke tangan masyarakat umum. Dari sekoin demi sekoin dinar emas yang ada dalam genggaman masyarakat, akan berpindahlah penguasaan emas ini dari kocek para bankir ke kantong-kantong masyarakat. Hingga, ketika jumlah emas yang ada di tangan masyarakat sudah cukup memadai, perekonomian tak mudah lagi diguncang-guncang. Pemiskinan yang berlangsung terus-menerus melalui inflasi maupun secara tiba-tiba melalui "krisis moneter" tak dapat lagi terjadi.
Di sinilah misi utama jaringan wakala yang ada di pelosok-pelosok negeri Indonesia, sebagaimana dikordinir oleh Wakala Induk Nusantara (WIN), yakni menggerakkan koin-koin dinar hingga emas berpindah dari penguasaan segelintir orang ke seluruh masyarakat, dan pada gilirannya berpindah dari tangan ke tangan melalui perdagangan. Dalam konteks ini pula mungkin ada baiknya kita melongok yang terjadi di Negeri Kelantan, Malaysia, tempat dikampanyekannya Gerakan Satu Keluarga Satu Dinar.
Dengan penduduk sekitar 240 juta orang, dengan asumsi ada 5 orang dalam satu keluarga, di Indonesia ada 48 juta keluarga. Dan dengan setiap keluarga memiliki satu dinar emas, maka akan ada 48 juta x 4.25 gram atau 204 juta gram (204 ribu ton) emas di tangan masyarakat sendiri. Melalui perdagangan, baik barang dan jasa, 48 juta dinar ini pun akan berpindah dari tangan ke tangan, sebagai sarana memeratakan kemakmuran. Melalui perdagangan barang dan jasa maka keluarga buruh-buruh pabrik dan pedagang kaki lima pun dapat memiliki dinar emas. Instrumen kedua berpindanya emas dan perak dari tangan (orang kaya) ke tangan (orang fakir miskin) adalah melalui zakat mal. Setiap tahun seharusnya ada 2.5% dari keseluruhan kekayaan Muslim kaya di Indonesia ini yang berpindah ke kaum papa.
Saat ini, pengenalan dinar dan dirham di Indonesia, harus diakui masih sangat terbatas. Karena itu sosialisasi dan pengenalan melalui kampanye masif, yang didukung oleh berbagai pihak, sangat diperlukan.
penulis : Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara Baca Selengkapnya..
Selasa, 21 April 2009
Syok Terapi Spekulan Emas
Dalam beberapa pekan terakhir ini terjadi fluktuasi harga emas dan valuta asing yang cukup bergejolak akibat ulah spekulan.
Hal ini ternyata cukup membuat was-was para pemula pengguna koin dinar emas dan dirham perak. Bagaimana tidak cemas, pemakai dinar atau calon wakala yang baru saja membeli dinar emas pertama mereka (akhir Maret s.d. awal April 2009), dengan nilai tukar yang saat itu cukup tinggi, seharga sekitar Rp 1.5 juta, harus mendapati kenyataan bahwa harga dinar saat tulisan ini dibuat (20 April 2009), adalah Rp 1.359.107. Artinya dalam kurun sekitar sebulan ini nilai tukar dinar telah merosot sebesar Rp 140.000/dinar setara 9.3%. Padahal rata-rata apresiasi dinar selama ini adalah 25%/tahun.
Penurunan nilai tukar dinar di atas jelas terkait langsung dengan penurunan harga emas dunia. Harga emas belakangan ini memang merosot tajam dari kisaran USD 900-an menjadi kurang dari 878 per troy ounce. Di sisi lain, dolar saat ini, justru mulai membanjiri dunia. Ada apa ini? Jawabnya: ini adalah syok terapi spekulan emas. Tetapi bagi wakala dan pengguna dinar yang sudah lebih dulu bergelut dengan dinar emas, akan menganggap hal ini sebagai gejala yang sudah biasa saja. Toh, kita bias mengantisipasinya, sampai di mana para spekulan mampu membuat harga emas begitu murah? Setelah murah maka, seperti yang terjadi di masa lampau, harga emas akan kembali melonjak tajam (naik tinggi). Satu hal yang perlu dipahami bersama adalah bahwa aksi spekulasi ini, yang akan membuat nilai tukar dinar emas bergejolak, akan terus berlangsung hinga dinar-dirham benar-benar tersebar luas, dan kembali kepada fungsinya semula, yakni sebagai alat tukar. Ketika jumlah koin dinar sudah begitu banyak ada di tangan masyarakat para spekulan tak lagi bisa menentukan "harganya" secara sepihak. Kita semualah, para pemegang koin emas dan perak, artinya mekanisme pasar, yang akan menentukan nilai tukar tersebut.
Adapun berdiri dan beroperasinya wakala adalah sebagai jembatan penghubung distribusi dinar-dirham, tempat pembelajaran muamalah syar'i, dan kontrol pertama keaslian koin dinar-dirham. Juga beberapa fungsi lain yang bersifat teknis, misalnya menerima titipan dinar-dirham, pengirimannya dari satu kota ke kota lain, dan sebagainya. Dan, lebih dari semua itu, inti dari gerakan kembali kepada dinar dan dirham ini adalah mengajak peran serta masyarakat untuk taat kepada Allah Ta'ala, Rasulullah, sallahualayhi wa salam, serta Amirul Mukminin atau Amir-Amir yang haq, sesuai dengan tuntunan dalam Al Qur'an dan sunnah, serta 'amal.
Dalam pandangan kebanyakan dari kita, yang memang masih kuat diliputi mitos uang kertas, harga emas dan perak itu seakan-akan naik turun setiap hari. Padahal harga emas dan perak itu tetap dan stabil. Tetapi konspirasi internasional yang terdiri dari para bankir, pemilik saham multinasional, dan para Islamophobia, yang bekerja keras untuk memutar balikkan kenyataan. Uang kertas (fiat money) yang nota bene tanpa jaminan apapun, tidak memiliki nilai apa pun kecuali selembar kertas, bergerak liar mengikuti para pemain valas, berfluktuasi setiap menit dalam 24 jam sehari! Tanpa hari libur!
Tapi karena pemerintahan di seluruh dunia saat ini terjajah oleh sistem Dajjal, dan ngotot memaksa penduduk menerima uang kertas sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah, maka kita berhalusinasi bahwa emas-peraklah yang berfluktuasi. Padahal dalam kaidah ilmu mata uang (Numismatik), yang disebut Uang Kartal (uang tunai) adalah koin emas dan koin perak. Sedangkan uang kertas sendiri digolongkan dalam koleksi Notaphili, sekelas dengan Filateli (Prangko). Artinya uang kertas dan prangko hanya berharga sesaat saja, hingga masa berlakunya habis, kadaluarsa seperti makanan dalam kemasan.
Sementara emas dan perak, karena nilai intrinsiknya, dan penerimaannya secara universal oleh umat manusia di dunia ini, memiliki nilai yang tetap. Secara empiris selalu terbukti koin emas dan koin perak tak mengalami inflasi. Sejak zaman Rasulullah sallahualayhi wa salam sampai detik ini satu koin dinar setara 1-2 ekor kambing, 1 koin dirham setara 1 ekor ayam. Karena itu, ketika nilai tukar dinar dan dirham justru "turun" dan "murah" seperti saat ini, inilah waktunya untuk semakin benyak menukarkan uang-uang kertas kita, menjadi koin-koin emas atau perak. Kalaupun diperlukan, belanjakanlah koin dinar atau dirham Anda sebagai alat tukar dengan barang atau jasa sesuai kebutuhan, dan tak perlu ditukarkan kembali menjadi uang kertas.
Catatan:
Numismatik : Ilmu tentang Koleksi Mata Uang Koin
Notaphili : Koleksi Uang Kertas dan Surat Berharga
Filateli : Koleksi Prangko, leges dan surat biasa
Penulis : Sufyan al Jawi - Numismatik Indonesia Baca Selengkapnya..
Hal ini ternyata cukup membuat was-was para pemula pengguna koin dinar emas dan dirham perak. Bagaimana tidak cemas, pemakai dinar atau calon wakala yang baru saja membeli dinar emas pertama mereka (akhir Maret s.d. awal April 2009), dengan nilai tukar yang saat itu cukup tinggi, seharga sekitar Rp 1.5 juta, harus mendapati kenyataan bahwa harga dinar saat tulisan ini dibuat (20 April 2009), adalah Rp 1.359.107. Artinya dalam kurun sekitar sebulan ini nilai tukar dinar telah merosot sebesar Rp 140.000/dinar setara 9.3%. Padahal rata-rata apresiasi dinar selama ini adalah 25%/tahun.
Penurunan nilai tukar dinar di atas jelas terkait langsung dengan penurunan harga emas dunia. Harga emas belakangan ini memang merosot tajam dari kisaran USD 900-an menjadi kurang dari 878 per troy ounce. Di sisi lain, dolar saat ini, justru mulai membanjiri dunia. Ada apa ini? Jawabnya: ini adalah syok terapi spekulan emas. Tetapi bagi wakala dan pengguna dinar yang sudah lebih dulu bergelut dengan dinar emas, akan menganggap hal ini sebagai gejala yang sudah biasa saja. Toh, kita bias mengantisipasinya, sampai di mana para spekulan mampu membuat harga emas begitu murah? Setelah murah maka, seperti yang terjadi di masa lampau, harga emas akan kembali melonjak tajam (naik tinggi). Satu hal yang perlu dipahami bersama adalah bahwa aksi spekulasi ini, yang akan membuat nilai tukar dinar emas bergejolak, akan terus berlangsung hinga dinar-dirham benar-benar tersebar luas, dan kembali kepada fungsinya semula, yakni sebagai alat tukar. Ketika jumlah koin dinar sudah begitu banyak ada di tangan masyarakat para spekulan tak lagi bisa menentukan "harganya" secara sepihak. Kita semualah, para pemegang koin emas dan perak, artinya mekanisme pasar, yang akan menentukan nilai tukar tersebut.
Adapun berdiri dan beroperasinya wakala adalah sebagai jembatan penghubung distribusi dinar-dirham, tempat pembelajaran muamalah syar'i, dan kontrol pertama keaslian koin dinar-dirham. Juga beberapa fungsi lain yang bersifat teknis, misalnya menerima titipan dinar-dirham, pengirimannya dari satu kota ke kota lain, dan sebagainya. Dan, lebih dari semua itu, inti dari gerakan kembali kepada dinar dan dirham ini adalah mengajak peran serta masyarakat untuk taat kepada Allah Ta'ala, Rasulullah, sallahualayhi wa salam, serta Amirul Mukminin atau Amir-Amir yang haq, sesuai dengan tuntunan dalam Al Qur'an dan sunnah, serta 'amal.
Dalam pandangan kebanyakan dari kita, yang memang masih kuat diliputi mitos uang kertas, harga emas dan perak itu seakan-akan naik turun setiap hari. Padahal harga emas dan perak itu tetap dan stabil. Tetapi konspirasi internasional yang terdiri dari para bankir, pemilik saham multinasional, dan para Islamophobia, yang bekerja keras untuk memutar balikkan kenyataan. Uang kertas (fiat money) yang nota bene tanpa jaminan apapun, tidak memiliki nilai apa pun kecuali selembar kertas, bergerak liar mengikuti para pemain valas, berfluktuasi setiap menit dalam 24 jam sehari! Tanpa hari libur!
Tapi karena pemerintahan di seluruh dunia saat ini terjajah oleh sistem Dajjal, dan ngotot memaksa penduduk menerima uang kertas sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah, maka kita berhalusinasi bahwa emas-peraklah yang berfluktuasi. Padahal dalam kaidah ilmu mata uang (Numismatik), yang disebut Uang Kartal (uang tunai) adalah koin emas dan koin perak. Sedangkan uang kertas sendiri digolongkan dalam koleksi Notaphili, sekelas dengan Filateli (Prangko). Artinya uang kertas dan prangko hanya berharga sesaat saja, hingga masa berlakunya habis, kadaluarsa seperti makanan dalam kemasan.
Sementara emas dan perak, karena nilai intrinsiknya, dan penerimaannya secara universal oleh umat manusia di dunia ini, memiliki nilai yang tetap. Secara empiris selalu terbukti koin emas dan koin perak tak mengalami inflasi. Sejak zaman Rasulullah sallahualayhi wa salam sampai detik ini satu koin dinar setara 1-2 ekor kambing, 1 koin dirham setara 1 ekor ayam. Karena itu, ketika nilai tukar dinar dan dirham justru "turun" dan "murah" seperti saat ini, inilah waktunya untuk semakin benyak menukarkan uang-uang kertas kita, menjadi koin-koin emas atau perak. Kalaupun diperlukan, belanjakanlah koin dinar atau dirham Anda sebagai alat tukar dengan barang atau jasa sesuai kebutuhan, dan tak perlu ditukarkan kembali menjadi uang kertas.
Catatan:
Numismatik : Ilmu tentang Koleksi Mata Uang Koin
Notaphili : Koleksi Uang Kertas dan Surat Berharga
Filateli : Koleksi Prangko, leges dan surat biasa
Penulis : Sufyan al Jawi - Numismatik Indonesia Baca Selengkapnya..
Minggu, 19 April 2009
Penetapan Standar Dinar Dirham
Secara historis pemakaian koin emas dan koin perak sebagai alat tukar telah berlangsung sebelum Islam datang, termasuk di Jazirah Arab tentu saja. Sebutan dinar, misalnya, berasal dari koin Rumawi, denarius, sedangkan dirham berasal dari koin Persia, drachma.
Oleh sebagian orang kenyataan sejarah ini lalu dipahami sebagai kenyataan bahwa Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, tidak menetapkan suatu ketentuan baru tentang dinar dan dirham, tetapi sekadar meneruskannya (men-taqrir-nya). Bahkan, lebih dari itu, ada pula yang menjadikannya sebagai argumen bahwa Islam tidak mengharuskan mata uangnya terbuat dari emas atau perak.
Memang benar, dari berbagai riwayat, kita tahu Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, menyebutkan sejumlah komoditi yang bisa dipakai sebagai alat tukar, yaitu emas, perak, terigu, syai�r (sejenis jewawut), kurma dan garam. Pengertian paling pokok dari contoh-contoh ini adalah bahwa alat tukar haruslah terbuat dari komoditi yang lazim dipakai sebagai alat tukar. Artinya, dalam keadaan tidak ada atau kekurangan emas atau perak, maka komoditi lainnya, sepanjang lazim diterima sebagai alat tukar, dapat dapat ditakar atau ditimbang secara baku, dapat diberlakukan sebagai mata uang. Di Indonesia, misalnya, beras dapat digunakan sebagai alat tukar yang valid. Juga, berbeda dengan uang kertas, suatu alat tukar tidak boleh dipaksakan penerimaan dan pemakaiannya. Penerbitan mata uang juga tidak boleh dimonopoli oleh satu pihak, seperti saat ini berlangsung, di tangan bank-bank sentral.
Kenyataannya, dalam perjalanan kehidupan manusia yang sudah begitu panjang, komoditi terbaik yang lazim dipakai sebagai alat tukar adalah emas dan perak, yang sampai pada awal kehadiran Islam, banyak berasal dari Rumawi (dinarius) dan Persia (drachma). Tetapi, koin Romawi dan koin Persia tersebut bukanlah koin emas dan perak yang seragam yang beredar di Jazirah Arab ketika itu. Ukurannya pun ada beberapa macam. Baru sesudah ditetapkan ukuran-ukuran dan takarannya oleh Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, koin dinar dan dirham di Madinah memiliki kebakuan.
Sofyan Al Jawi, seorang ahli numismatik Indonesia yang saat ini juga mengoperasikan salah satu wakala di Jakarta (Wakala Al Faqi, Cilincing), menjelaskan bahwa penetapan ketentuan tentang standar dinar dan dirham itu dilakukan oleh Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, pada tahun ke-2 Hijriah, bermula dari adanya sebuah sengketa di pasar. Ketika Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, tiba di Madinah penduduknya biasa menggunakan dirham perak dengan cara hitungan bilangan, sementara pendatang dari Mekah terbiasa menggunakannya dalam hitungan timbangan. Maka, terjadilah sengketa, antara Aisyah (seorang muhajirin) dan Burairah (seorang nshar).
Dalam suatu riwayat disebutkan adanya tiga dirham yang berbeda kadarnya ketika itu, yaitu dirham besar 20 qirat, dirham sedang 12 qirat, dan dirham kecil 10 qirat. Atas sengketa di atas, Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, memberikan petunjuknya, agar koin-koin dirham itu dihitung bukan dengan cara membilangnya tetapi menimbangnya. Dari hadits yang diriwayatkan oleh Thawus dari Ibnu Umar, dari perkataan Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, ��Timbangan (wazan) adalah timbangannya penduduk Mekkah, dan takaran (mikyal) adalah takarannya penduduk Madinah.� (HR. Abu Daud dan Nasai), kita mendapatkan pembakuan dinar dan dirham.
Cara Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, menetapkan standar adalah dengan menghitung rata-rata berat dirham yang ada, yaitu: 2 0+10 +12 = 42 qirat yang kemudian dibagi tiga, menghasilkan 14 qirat. Jadi, timbangan dirham menurut syar�it adalah seberat 14 qirat. Sedangkan perbandingannya dengan koin dinar (1 mitsqal) ditetapkan menjadi 14/20 mitsqal, karena 1 mitsqal sama dengan 20 qirat. Maka satuan dirham adalah seberat 7/10 mitsqal atau 2,975 gram dengan kadar koin perak Sasanid (perak murni). Koin dinar yang ditetapkan adalah seberat 1 mitsqal. Jadi, tiap-tiap 7 dinar setara dengan 10 dirham, dalam timbangannya. Kita mendapatinya 1 dinar adalah 4.25 gr emas, dengan kelipatannya untuk satuan yang lebih besar (2 dinar dan seterusnya) atau lebih kecil (0.5 dinar).
Dengan mengacu kepada ketetapan nilai yang telah dibakukan itulah Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, kemudian menetapkan ketentuan-ketentuan syariat lainnya yang berkaitan dengannya. Ketetapan terpenting, tentu saja, adalah nisab zakat, yang ditentukan sebesar 20 dinar emas dan 200 dirham perak. Demikian juga ketentuan tentang hudud (seperti batas hukum potong tangan, 0.25 dinar emas) atau diyat (1000 dinar). Dari sini mengikuti hukum-hukum muamalat lain seperti qirad dan syirkat hanya sah bila dilakukan dengan dinar emas atau dirham perak.
Jadi, jelas sekali, bahwa tanpa dinar emas dan dirham perak syariat Islam tak dapat ditegakkan, karena keduanya bertalian langsung dengan begitu banyak ketentuan syariat Islam. Meskipun, sampai Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, wafat, dinar emas dan dirham perak yang beredar masih berasal dari Rumawi dan Persia. Dirham perak dan dinar emas pertama yang dicetak sendiri oleh para pemimpin Muslim bertahun 694-695 M atau 74-75 H, di zaman Khalifah Abdalmalik, lebih dari setengah abad sesudah Rasulullah wafat.
penulis : Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara Baca Selengkapnya..
Oleh sebagian orang kenyataan sejarah ini lalu dipahami sebagai kenyataan bahwa Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, tidak menetapkan suatu ketentuan baru tentang dinar dan dirham, tetapi sekadar meneruskannya (men-taqrir-nya). Bahkan, lebih dari itu, ada pula yang menjadikannya sebagai argumen bahwa Islam tidak mengharuskan mata uangnya terbuat dari emas atau perak.
Memang benar, dari berbagai riwayat, kita tahu Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, menyebutkan sejumlah komoditi yang bisa dipakai sebagai alat tukar, yaitu emas, perak, terigu, syai�r (sejenis jewawut), kurma dan garam. Pengertian paling pokok dari contoh-contoh ini adalah bahwa alat tukar haruslah terbuat dari komoditi yang lazim dipakai sebagai alat tukar. Artinya, dalam keadaan tidak ada atau kekurangan emas atau perak, maka komoditi lainnya, sepanjang lazim diterima sebagai alat tukar, dapat dapat ditakar atau ditimbang secara baku, dapat diberlakukan sebagai mata uang. Di Indonesia, misalnya, beras dapat digunakan sebagai alat tukar yang valid. Juga, berbeda dengan uang kertas, suatu alat tukar tidak boleh dipaksakan penerimaan dan pemakaiannya. Penerbitan mata uang juga tidak boleh dimonopoli oleh satu pihak, seperti saat ini berlangsung, di tangan bank-bank sentral.
Kenyataannya, dalam perjalanan kehidupan manusia yang sudah begitu panjang, komoditi terbaik yang lazim dipakai sebagai alat tukar adalah emas dan perak, yang sampai pada awal kehadiran Islam, banyak berasal dari Rumawi (dinarius) dan Persia (drachma). Tetapi, koin Romawi dan koin Persia tersebut bukanlah koin emas dan perak yang seragam yang beredar di Jazirah Arab ketika itu. Ukurannya pun ada beberapa macam. Baru sesudah ditetapkan ukuran-ukuran dan takarannya oleh Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, koin dinar dan dirham di Madinah memiliki kebakuan.
Sofyan Al Jawi, seorang ahli numismatik Indonesia yang saat ini juga mengoperasikan salah satu wakala di Jakarta (Wakala Al Faqi, Cilincing), menjelaskan bahwa penetapan ketentuan tentang standar dinar dan dirham itu dilakukan oleh Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, pada tahun ke-2 Hijriah, bermula dari adanya sebuah sengketa di pasar. Ketika Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, tiba di Madinah penduduknya biasa menggunakan dirham perak dengan cara hitungan bilangan, sementara pendatang dari Mekah terbiasa menggunakannya dalam hitungan timbangan. Maka, terjadilah sengketa, antara Aisyah (seorang muhajirin) dan Burairah (seorang nshar).
Dalam suatu riwayat disebutkan adanya tiga dirham yang berbeda kadarnya ketika itu, yaitu dirham besar 20 qirat, dirham sedang 12 qirat, dan dirham kecil 10 qirat. Atas sengketa di atas, Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, memberikan petunjuknya, agar koin-koin dirham itu dihitung bukan dengan cara membilangnya tetapi menimbangnya. Dari hadits yang diriwayatkan oleh Thawus dari Ibnu Umar, dari perkataan Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, ��Timbangan (wazan) adalah timbangannya penduduk Mekkah, dan takaran (mikyal) adalah takarannya penduduk Madinah.� (HR. Abu Daud dan Nasai), kita mendapatkan pembakuan dinar dan dirham.
Cara Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, menetapkan standar adalah dengan menghitung rata-rata berat dirham yang ada, yaitu: 2 0+10 +12 = 42 qirat yang kemudian dibagi tiga, menghasilkan 14 qirat. Jadi, timbangan dirham menurut syar�it adalah seberat 14 qirat. Sedangkan perbandingannya dengan koin dinar (1 mitsqal) ditetapkan menjadi 14/20 mitsqal, karena 1 mitsqal sama dengan 20 qirat. Maka satuan dirham adalah seberat 7/10 mitsqal atau 2,975 gram dengan kadar koin perak Sasanid (perak murni). Koin dinar yang ditetapkan adalah seberat 1 mitsqal. Jadi, tiap-tiap 7 dinar setara dengan 10 dirham, dalam timbangannya. Kita mendapatinya 1 dinar adalah 4.25 gr emas, dengan kelipatannya untuk satuan yang lebih besar (2 dinar dan seterusnya) atau lebih kecil (0.5 dinar).
Dengan mengacu kepada ketetapan nilai yang telah dibakukan itulah Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, kemudian menetapkan ketentuan-ketentuan syariat lainnya yang berkaitan dengannya. Ketetapan terpenting, tentu saja, adalah nisab zakat, yang ditentukan sebesar 20 dinar emas dan 200 dirham perak. Demikian juga ketentuan tentang hudud (seperti batas hukum potong tangan, 0.25 dinar emas) atau diyat (1000 dinar). Dari sini mengikuti hukum-hukum muamalat lain seperti qirad dan syirkat hanya sah bila dilakukan dengan dinar emas atau dirham perak.
Jadi, jelas sekali, bahwa tanpa dinar emas dan dirham perak syariat Islam tak dapat ditegakkan, karena keduanya bertalian langsung dengan begitu banyak ketentuan syariat Islam. Meskipun, sampai Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, wafat, dinar emas dan dirham perak yang beredar masih berasal dari Rumawi dan Persia. Dirham perak dan dinar emas pertama yang dicetak sendiri oleh para pemimpin Muslim bertahun 694-695 M atau 74-75 H, di zaman Khalifah Abdalmalik, lebih dari setengah abad sesudah Rasulullah wafat.
penulis : Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara Baca Selengkapnya..
Selasa, 17 Maret 2009
BPIH Turun (Lagi) 12% - Tahun 2020 Tinggal 9.9 Dinar
Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa persoalan sesungguhnya bukan terletak pada biaya penyelenggaraan haji itu sendiri, sebagaimana dengan biaya untuk kegiatan apa pun, melainkan pada mata uang yang digunakannya. Pembiayaan BPIH, juga untuk biaya keperluan apa pun lainnya, bila dilakukan dengan mata uang dinar emas, tidak akan pernah mengalami perubahan. Dinar emas selalu membuktikan dirinya sebagai mata uang dengan inflasi 0%
Walau belum jadi keputusan resmi, ancar-ancar Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2008 telah disampaikan oleh Menteri Agama Maftuh Basyuni dalam rapat kerja dengan, dan disetujui oleh, Komisi VIII DPR, 2 April lalu. Dibandingkan dengan BPIH tahun lalu BPIH 2008 rata-rata naik 500.86 dolar AS atau Rp 4,6 juta. harian Republika (Avtur Dongkrak Biaya Haji, Kamis, 3 April 08, hal. 1) juga menyajikan tabel BPIH tahun 2005-2008, lengkap untuk tiga zonasi. Pengumuman ini membuktikan bahwa kenaikan biaya haji selalu rutin terjadi setiap tahunnya, baik dalam mata uang rupiah maupun dolar AS. Jelas bahwa beban calon jemaah haji semakin berat, dan upaya menabung yang umumnya harus kita lakukan pun, semakin berat pula.
Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa persoalan sesungguhnya bukan terletak pada biaya penyelenggaraan haji itu sendiri, sebagaimana dengan biaya untuk kegiatan apa pun, melainkan pada mata uang yang digunakannya. Pembiayaan BPIH, juga untuk biaya keperluan apa pun lainnya, bila dilakukan dengan mata uang dinar emas, tidak akan pernah mengalami perubahan. Dinar emas selalu membuktikan dirinya sebagai mata uang dengan inflasi 0%. Perhatikanlah perbandingan perkembangan BPIH dalam tiga mata uang berbeda, yaitu rupiah, dolar AS, dan dinar emas, yang diolah dari tabel di HU Republika tersebut di atas. Untuk menyederhanakan data yang disajikan di sini hanyalah untuk BPIH dalam satu zonasi, yakni Zona II (Jakarta, Surabaya dan Solo), yang berada di zona tengah.
Tabel 1 di bawah ini menyajikan data BPIH (2005-2008) tersebut yang menunjukkan, bila dihitung dengan flat, ongkos naik haji dalam rupiah selalu mengalami kenaikan rata-rata 9% dan dalam dolar AS rata-rata naik 6.25% setiap tahunnya. Berkebalikan halnya bila biaya haji didenominasikan dengan dinar emas. Dari tabel yang sama terlihat bahwa BPIH dalam empat tahun terakhir ini, dalam denominasi dinar emas, secara flat turun rata-rata 10.25%. Jadi, ongkos naik haji, dari tahun ke tahun, menjadi semakin murah.
Dalam angka absolutnya BPIH 2005 dalam dinar emas adalah 46 dinar, turun menjadi 34 dinar (2006), turun lagi menjadi 31 dinar (2007), dan turun lagi menjadi 27 dinar untuk 2008 ini. Tingkat penurunannya berturut-turut adalah 26%, 8%, dan 12%. Perbedaan biaya dalam rantang empat tahun, antara 2005 dan 2008, menunjukkan penurunan BPIH dalam dinar sebesar 41% (dari 46 dinar/2005 ke 27 dinar/2008)! Sementara dalam rupiah justru naik 36% (dari Rp 23.2 juta ke Rp 31.6 juta), dan dalam dolar AS naik 25% (dari 2.730 dolar AS ke 3.430 dolar AS).
Proyeksi ke Depan
Dengan pengalaman empiris di masa lalu di atas maka kita dapat membuat suatu proyeksi ke depan. Untuk meningkatkan keakuratan dan ketepatan proyeksi kita data empiris BPIH di masa lalu yang digunakan di sini diperpanjang, tidak hanya terbatas sampai pada tahun 2005, tapi sampai tahun 2000. Proyeksinya sendiri akan dilakukan untuk masa dua belas tahun ke depan, untuk rentang waktu 2008-2020. Perhitungan tetap dilakukan dalam tiga jenis mata uang yaitu rupiah, dolar AS dan dinar emas, sekaligus untuk membandingkan ketiganya.
Kita awali proyeksi kita dengan berpatokan pada BPIH 2008 (Zona II saja) sebagaimana yang telah disepakati oleh Menteri Agama RI dan Komisi VIII DPR tersebut di atas, yaitu 3.429.6 dolar AS, tanpa memperhitungkan biaya tambahan untuk komponen domestik (dengan nilai Rp 501 ribu). Dengan kurs saat ini, ambillah Rp 9.200/dolar AS, maka dalam rupiah BPIH 2008 adalah Rp 31.552.320. Dalam dinar emas, dengan kurs saat ini 127 dolar AS/dinar, BPIH 2008 sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, hanya 27 dinar emas. Sebagai patokan empiris ke belakang kita ambil data tahun 2000, yaitu dengan BPIH dalam rupiah sebesar Rp 22.799.635, dalam dolar AS sebesar 2.682 dolar, dan dalam dinar emas sebesar 71 dinar. Dengan perhitungan flat kenaikan tahunan rata-rata BPIH dalam rupiah (dalam rentang 8 tahun terakhir, 2000-2008 ini) adalah 5%, dalam dolar AS 3.5%, dan dalam dinar emas adalah � (minus) 8%.
Dengan menggunakan data-data ini maka secara lengkap kita dapatkan proyeksi BPIH ke depan sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 2. Kita ambil saja tiga titik waktu di depan, yakni tahun 2010, 2015, dan 2020. Dalam rupiah kita akan dapatkan angka-angka BPIH sebesar Rp 34.8 juta (2010), Rp 44.4 juta (2015), dan akan menjadi Rp 56.7 juta (2020). Dalam dolar AS kita peroleh BPIH sebesar 3.639 dolar (2010), lalu 4.218 dolar (2015), dan akan menjadi 4.890 dolar (2020). Keduanya terus naik, meski dengan slope berbeda. Dalam dinar, sebaliknya, kita akan peroleh BPIH yang terus-menerus semakin murah secara signifikan, yakni 22.9 dinar (2010), lalu jadi 15.1 dinar (2015), dan turun lagi menjadi hanya 9.9 dinar (2020).
Penting untuk dimengerti proyeksi di atas diperoleh dengan asumsi keadaan adalah �normal�, dan dengan data yang sangat konservatif. Tetapi, sebagaimana saat ini kita dengar dari para pemegang otoritas moneter internasional, termasuk IMF, Bank Dunia, dan Federal Reserve AS, situasi ekonomi dunia semakin dibayangi oleh krisis besar. Keadaan empiris sejak Oktober 2007 lampau, yang dimulai dengan krisis kredit perumahan di AS, lalu gejolak harga minyak dan pangan dunia, disusul dengan gonjang-ganjingnya pasar saham, membuat mereka mengatisipasi kemungkinan terburuk. Sebaliknya dengan dinar emas, marilah kita songsong kemungkinan terbaiknya.
Ini bukti awalnya: September 2007 kurs dinar adalah Rp 880.000/dinar, saat ini sekitar Rp 1.200.000/dinar. Dinar emas telah menguat 34% dalam kurun 6 bulan terakhir, dan 200% dalam 8 tahun terakhir (kurs dinar tahun 2000 adalah Rp 400 ribu). Jadi, secara riel BPIH 2008 (Rp 31.6 juta) ini pun sesungguhnya hanya setara dengan nilai Rp 10.8 juta tahun 2000. Allahu Alim.
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
www.wakalanusantara.com Baca Selengkapnya..
Walau belum jadi keputusan resmi, ancar-ancar Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2008 telah disampaikan oleh Menteri Agama Maftuh Basyuni dalam rapat kerja dengan, dan disetujui oleh, Komisi VIII DPR, 2 April lalu. Dibandingkan dengan BPIH tahun lalu BPIH 2008 rata-rata naik 500.86 dolar AS atau Rp 4,6 juta. harian Republika (Avtur Dongkrak Biaya Haji, Kamis, 3 April 08, hal. 1) juga menyajikan tabel BPIH tahun 2005-2008, lengkap untuk tiga zonasi. Pengumuman ini membuktikan bahwa kenaikan biaya haji selalu rutin terjadi setiap tahunnya, baik dalam mata uang rupiah maupun dolar AS. Jelas bahwa beban calon jemaah haji semakin berat, dan upaya menabung yang umumnya harus kita lakukan pun, semakin berat pula.
Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa persoalan sesungguhnya bukan terletak pada biaya penyelenggaraan haji itu sendiri, sebagaimana dengan biaya untuk kegiatan apa pun, melainkan pada mata uang yang digunakannya. Pembiayaan BPIH, juga untuk biaya keperluan apa pun lainnya, bila dilakukan dengan mata uang dinar emas, tidak akan pernah mengalami perubahan. Dinar emas selalu membuktikan dirinya sebagai mata uang dengan inflasi 0%. Perhatikanlah perbandingan perkembangan BPIH dalam tiga mata uang berbeda, yaitu rupiah, dolar AS, dan dinar emas, yang diolah dari tabel di HU Republika tersebut di atas. Untuk menyederhanakan data yang disajikan di sini hanyalah untuk BPIH dalam satu zonasi, yakni Zona II (Jakarta, Surabaya dan Solo), yang berada di zona tengah.
Tabel 1 di bawah ini menyajikan data BPIH (2005-2008) tersebut yang menunjukkan, bila dihitung dengan flat, ongkos naik haji dalam rupiah selalu mengalami kenaikan rata-rata 9% dan dalam dolar AS rata-rata naik 6.25% setiap tahunnya. Berkebalikan halnya bila biaya haji didenominasikan dengan dinar emas. Dari tabel yang sama terlihat bahwa BPIH dalam empat tahun terakhir ini, dalam denominasi dinar emas, secara flat turun rata-rata 10.25%. Jadi, ongkos naik haji, dari tahun ke tahun, menjadi semakin murah.
Dalam angka absolutnya BPIH 2005 dalam dinar emas adalah 46 dinar, turun menjadi 34 dinar (2006), turun lagi menjadi 31 dinar (2007), dan turun lagi menjadi 27 dinar untuk 2008 ini. Tingkat penurunannya berturut-turut adalah 26%, 8%, dan 12%. Perbedaan biaya dalam rantang empat tahun, antara 2005 dan 2008, menunjukkan penurunan BPIH dalam dinar sebesar 41% (dari 46 dinar/2005 ke 27 dinar/2008)! Sementara dalam rupiah justru naik 36% (dari Rp 23.2 juta ke Rp 31.6 juta), dan dalam dolar AS naik 25% (dari 2.730 dolar AS ke 3.430 dolar AS).
Proyeksi ke Depan
Dengan pengalaman empiris di masa lalu di atas maka kita dapat membuat suatu proyeksi ke depan. Untuk meningkatkan keakuratan dan ketepatan proyeksi kita data empiris BPIH di masa lalu yang digunakan di sini diperpanjang, tidak hanya terbatas sampai pada tahun 2005, tapi sampai tahun 2000. Proyeksinya sendiri akan dilakukan untuk masa dua belas tahun ke depan, untuk rentang waktu 2008-2020. Perhitungan tetap dilakukan dalam tiga jenis mata uang yaitu rupiah, dolar AS dan dinar emas, sekaligus untuk membandingkan ketiganya.
Kita awali proyeksi kita dengan berpatokan pada BPIH 2008 (Zona II saja) sebagaimana yang telah disepakati oleh Menteri Agama RI dan Komisi VIII DPR tersebut di atas, yaitu 3.429.6 dolar AS, tanpa memperhitungkan biaya tambahan untuk komponen domestik (dengan nilai Rp 501 ribu). Dengan kurs saat ini, ambillah Rp 9.200/dolar AS, maka dalam rupiah BPIH 2008 adalah Rp 31.552.320. Dalam dinar emas, dengan kurs saat ini 127 dolar AS/dinar, BPIH 2008 sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, hanya 27 dinar emas. Sebagai patokan empiris ke belakang kita ambil data tahun 2000, yaitu dengan BPIH dalam rupiah sebesar Rp 22.799.635, dalam dolar AS sebesar 2.682 dolar, dan dalam dinar emas sebesar 71 dinar. Dengan perhitungan flat kenaikan tahunan rata-rata BPIH dalam rupiah (dalam rentang 8 tahun terakhir, 2000-2008 ini) adalah 5%, dalam dolar AS 3.5%, dan dalam dinar emas adalah � (minus) 8%.
Dengan menggunakan data-data ini maka secara lengkap kita dapatkan proyeksi BPIH ke depan sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 2. Kita ambil saja tiga titik waktu di depan, yakni tahun 2010, 2015, dan 2020. Dalam rupiah kita akan dapatkan angka-angka BPIH sebesar Rp 34.8 juta (2010), Rp 44.4 juta (2015), dan akan menjadi Rp 56.7 juta (2020). Dalam dolar AS kita peroleh BPIH sebesar 3.639 dolar (2010), lalu 4.218 dolar (2015), dan akan menjadi 4.890 dolar (2020). Keduanya terus naik, meski dengan slope berbeda. Dalam dinar, sebaliknya, kita akan peroleh BPIH yang terus-menerus semakin murah secara signifikan, yakni 22.9 dinar (2010), lalu jadi 15.1 dinar (2015), dan turun lagi menjadi hanya 9.9 dinar (2020).
Penting untuk dimengerti proyeksi di atas diperoleh dengan asumsi keadaan adalah �normal�, dan dengan data yang sangat konservatif. Tetapi, sebagaimana saat ini kita dengar dari para pemegang otoritas moneter internasional, termasuk IMF, Bank Dunia, dan Federal Reserve AS, situasi ekonomi dunia semakin dibayangi oleh krisis besar. Keadaan empiris sejak Oktober 2007 lampau, yang dimulai dengan krisis kredit perumahan di AS, lalu gejolak harga minyak dan pangan dunia, disusul dengan gonjang-ganjingnya pasar saham, membuat mereka mengatisipasi kemungkinan terburuk. Sebaliknya dengan dinar emas, marilah kita songsong kemungkinan terbaiknya.
Ini bukti awalnya: September 2007 kurs dinar adalah Rp 880.000/dinar, saat ini sekitar Rp 1.200.000/dinar. Dinar emas telah menguat 34% dalam kurun 6 bulan terakhir, dan 200% dalam 8 tahun terakhir (kurs dinar tahun 2000 adalah Rp 400 ribu). Jadi, secara riel BPIH 2008 (Rp 31.6 juta) ini pun sesungguhnya hanya setara dengan nilai Rp 10.8 juta tahun 2000. Allahu Alim.
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
www.wakalanusantara.com Baca Selengkapnya..
Senin, 16 Maret 2009
Muslihat Uang Kertas
Urwah, salah seorang Sahabat Rasul, sallalahu alayhi wa sallam, meriwayatkan bahwa ia diberi uang satu dinar untuk membeli seekor domba. Tapi dengan uang itu Urwah berhasil memperoleh dua ekor. Maka ia menjual salah satunya senilai satu dinar dan membawa seekor yang lain, beserta sekeping dinarnya, kepada Rasul , sallalahu alayhi wa sallam, . Atas kecerdikan Urwah tersebut Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, memintakan berkah Allah , subhanahu wa ta’ala, atasnya, dan menyatakan bahwa “Ia akan menjadi seseorang yang selalu mendapatkan laba bahkan bila ia berdagang debu sekalipun, “ (HR Bukhari).
Nilai satu dinar emas saat ini setara dengan sekitar Rp 1.4 juta, yang di Jakarta dapat dibelikan 1-2 ekor domba. Jadi, selama lebih dari 1400 tahun nilai tukar sekeping dinar tidak berubah. Sebaliknya, nilai jual seekor domba, juga tidak berubah. Jual beli domba, atau komoditas apa pun, dengan dinar emas tidak menyertakan inflasi. Dengan kata lain yang terjadi sepanjang zaman ini bukan harga komoditas yang naik, melainkan nilai uang kertas yang terus merosot..
Dengan menggunakan dinar emas kita melepaskan kaitan antara komoditas dan uang kertas. Dengan memakai dinar kita kembalikan hubungan fitrah antarkomoditas. Kita ambil contoh lain antara minyak dan emas. Akan kita buktikan, antara keduanya, tidak terjadi pergeseran nilai tukar. Inflasinya 0%. Kalau terjadi pergeseran karena faktor alamiah, kelangkaan atau kelebihan pasok, dalam waktu segera akan mengalami keseimbangan baru, sesuai fitrah. Dengan intervensi uang kertas, sebagai pengganti salah satu komoditas yang dipertukarkan, dengan nilai nominal yang dipaksakan oleh hukum manusia, rusaklah fitrah supply-demand ini.
Lihatlah harga minyak mentah (Indonesia) yang terus naik dalam lima tahun terakhir, sejalan dengan ’krisis minyak’ saat ini, dari 37.58 dolar AS (2004) menjadi 53.4 dolar AS (2005), menjadi 64.29 dolar AS (2006), menjadi 72.36 dolar AS (2007), dan terakhir melonjak menjadi 95.62 dolar AS/barel (2008). Kenaikannya adalah 154% (dari 37.58 menjadi 95.62 dolar AS/barel). Secara flat kenaikan rata-rata harga minyak mentah Indonesia per tahunnya (dalam dolar AS) adalah 38.5%.
Sementara itu, kurs dinar emas sendiri dari tahun ke tahun juga terus naik. Pada tahun 2004 satu dinar adalah 54 dolar AS, menjadi 60 dolar AS (2005), berikutnya (2006) menjadi 85 dolar AS, lalu 95 (2007), dan saat ini (2008) menjadi 127 dolar AS, sebelum kembali turun ke 117 dolar AS (Mei 2008). Awal Februari 2009 nilai tukar dinar mencapai 121 dolar AS dan dalam rupiah melewati angka Rp 1.460.000. Jadi, dinar emas sendiri mengalami apresiasi cukup besar, meskipun lebih rendah dari kenaikan harga minyak mentah, yaitu 135% (dari 54 dolar AS menjadi 117 dolar AS/dinar). Rata-rata apresiasi dinar emas per tahun, dalam periode ini, adalah 29.16%, terpaut sekitar 9% dari rata-rata kenaikan harga minyak mentah Indonesia di atas.
Sekarang kita lihat harga minyak mentah ini dalam periode yang sama dalam dinar emas. Pada 2004 harga minyak mentah Indonesia adalah 0.7 dinar emas/barel, yang sesudah mengalami kenaikan lumayan tinggi setahun kemudian (2005) yakni 28%, menjadi 0.9 dinar emas/barel, kembali turun 11% setahun kemudian (2006) menjadi 0.76 dinar emas/barel. Dalam kurun tiga tahun terakhir (2006-2008), ketika situasi sangat tidak stabil – yang selalu ditampilkan kepada kita sebagai ’krisis’ – harga minyak dalam dinar emas justru sangat stabil, tidak beranjak dari 0.76 dinar emas/barel. Dalam periode ini harga minyak mentah dalam dolar AS naik secara drastis, sekitar 49%! (dari 64.29 ke 95.62 dolar AS/barel), dalam dinar emas tidak berubah alias kenaikannya 0%! Memasuki tahun 2009 harga minyak mentah dunia kembali turun drastis, tetapi dinar emas justru masih naik. Dalam dolar harga minyak mentah turun dari 92.62 dolar ke tingkat sekitar 43 dolar AS atau 55%.
Kalau diukur dengan dinar emas maka harga minyak mentah internasional saat ini sekitar 0.35 dinar/barel, turun dari posisi 0.82 dinar/barel. Angka penurunannya hampir persis sama dengan penurunannya dalam dolar AS, yakni 54-55%.
Untuk kurun waktu yang lebih panjang dan dalam perbandingan dengan komoditi yang jauh lebih luas cakupannya hadits Rasul , sallalahu alayhi wa sallam, di atas telah pula dibuktikan secara ilmiah oleh Prof. Roy Jastram, dalam bukunya The Golden Constant, bahwa selama sekitar 500 tahun (1560-1997) nilai tukar emas atas komoditas adalah konstan. Yang ada adalah nilai uang kertas yang terus merosot, menuju kepada asalnya sebagai selembar kertas tak bernilai.
Maka, awaslah, uang kertas adalah tipu muslihat riba belaka! Kembalilah kepada dinar emas dan dirham perak
penulis : Zaim saidi Baca Selengkapnya..
Nilai satu dinar emas saat ini setara dengan sekitar Rp 1.4 juta, yang di Jakarta dapat dibelikan 1-2 ekor domba. Jadi, selama lebih dari 1400 tahun nilai tukar sekeping dinar tidak berubah. Sebaliknya, nilai jual seekor domba, juga tidak berubah. Jual beli domba, atau komoditas apa pun, dengan dinar emas tidak menyertakan inflasi. Dengan kata lain yang terjadi sepanjang zaman ini bukan harga komoditas yang naik, melainkan nilai uang kertas yang terus merosot..
Dengan menggunakan dinar emas kita melepaskan kaitan antara komoditas dan uang kertas. Dengan memakai dinar kita kembalikan hubungan fitrah antarkomoditas. Kita ambil contoh lain antara minyak dan emas. Akan kita buktikan, antara keduanya, tidak terjadi pergeseran nilai tukar. Inflasinya 0%. Kalau terjadi pergeseran karena faktor alamiah, kelangkaan atau kelebihan pasok, dalam waktu segera akan mengalami keseimbangan baru, sesuai fitrah. Dengan intervensi uang kertas, sebagai pengganti salah satu komoditas yang dipertukarkan, dengan nilai nominal yang dipaksakan oleh hukum manusia, rusaklah fitrah supply-demand ini.
Lihatlah harga minyak mentah (Indonesia) yang terus naik dalam lima tahun terakhir, sejalan dengan ’krisis minyak’ saat ini, dari 37.58 dolar AS (2004) menjadi 53.4 dolar AS (2005), menjadi 64.29 dolar AS (2006), menjadi 72.36 dolar AS (2007), dan terakhir melonjak menjadi 95.62 dolar AS/barel (2008). Kenaikannya adalah 154% (dari 37.58 menjadi 95.62 dolar AS/barel). Secara flat kenaikan rata-rata harga minyak mentah Indonesia per tahunnya (dalam dolar AS) adalah 38.5%.
Sementara itu, kurs dinar emas sendiri dari tahun ke tahun juga terus naik. Pada tahun 2004 satu dinar adalah 54 dolar AS, menjadi 60 dolar AS (2005), berikutnya (2006) menjadi 85 dolar AS, lalu 95 (2007), dan saat ini (2008) menjadi 127 dolar AS, sebelum kembali turun ke 117 dolar AS (Mei 2008). Awal Februari 2009 nilai tukar dinar mencapai 121 dolar AS dan dalam rupiah melewati angka Rp 1.460.000. Jadi, dinar emas sendiri mengalami apresiasi cukup besar, meskipun lebih rendah dari kenaikan harga minyak mentah, yaitu 135% (dari 54 dolar AS menjadi 117 dolar AS/dinar). Rata-rata apresiasi dinar emas per tahun, dalam periode ini, adalah 29.16%, terpaut sekitar 9% dari rata-rata kenaikan harga minyak mentah Indonesia di atas.
Sekarang kita lihat harga minyak mentah ini dalam periode yang sama dalam dinar emas. Pada 2004 harga minyak mentah Indonesia adalah 0.7 dinar emas/barel, yang sesudah mengalami kenaikan lumayan tinggi setahun kemudian (2005) yakni 28%, menjadi 0.9 dinar emas/barel, kembali turun 11% setahun kemudian (2006) menjadi 0.76 dinar emas/barel. Dalam kurun tiga tahun terakhir (2006-2008), ketika situasi sangat tidak stabil – yang selalu ditampilkan kepada kita sebagai ’krisis’ – harga minyak dalam dinar emas justru sangat stabil, tidak beranjak dari 0.76 dinar emas/barel. Dalam periode ini harga minyak mentah dalam dolar AS naik secara drastis, sekitar 49%! (dari 64.29 ke 95.62 dolar AS/barel), dalam dinar emas tidak berubah alias kenaikannya 0%! Memasuki tahun 2009 harga minyak mentah dunia kembali turun drastis, tetapi dinar emas justru masih naik. Dalam dolar harga minyak mentah turun dari 92.62 dolar ke tingkat sekitar 43 dolar AS atau 55%.
Kalau diukur dengan dinar emas maka harga minyak mentah internasional saat ini sekitar 0.35 dinar/barel, turun dari posisi 0.82 dinar/barel. Angka penurunannya hampir persis sama dengan penurunannya dalam dolar AS, yakni 54-55%.
Untuk kurun waktu yang lebih panjang dan dalam perbandingan dengan komoditi yang jauh lebih luas cakupannya hadits Rasul , sallalahu alayhi wa sallam, di atas telah pula dibuktikan secara ilmiah oleh Prof. Roy Jastram, dalam bukunya The Golden Constant, bahwa selama sekitar 500 tahun (1560-1997) nilai tukar emas atas komoditas adalah konstan. Yang ada adalah nilai uang kertas yang terus merosot, menuju kepada asalnya sebagai selembar kertas tak bernilai.
Maka, awaslah, uang kertas adalah tipu muslihat riba belaka! Kembalilah kepada dinar emas dan dirham perak
penulis : Zaim saidi Baca Selengkapnya..
Kamis, 12 Maret 2009
Devaluasi Rupiah dan Prospek Dinar-Dirham
Keterpurukan rupiah terhadap dolar AS mendorong sebagian masyarakat kita melirik mata uang dinar dan dirham. Hal yang dapat dipahami. Sebab melemahnya rupiah bukan hanya mendestabilkan masalah ekonomi makro dan mikro, tapi membuat masyarakat dari berbagai lapisan harus menelan pil pahit akibat devaluasi rupiah. Harga berbagai jenis barang dan jasa naik antara 2,5 hingga 30 persen.
Lalu, apakah penggunaan mata uang dinar yang berbahan utama emas 22 karat dan dirham yang berbahan utama perak dapat menyelamatkan destruksi rupiah? Secara empirik, dinar dan dirham belum pernah menyulitkan negara dan bangsa yang menggunakannya. Dan secara teoritik --hal ini yang jauh lebih menarik-- dinar dan dirham terbebas dari tindakan spekulatif dan inflasi, bahkan tindakan pemalsuan.
Dinar dan dirham tak bisa dimainkan sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan. Celah memperdagangkannya memang masih ada. Tapi ketiadaan margin dari transaksinya membuat ketidakmauan para spekulan di manapun. Inilah makna utama mendasar keseimbangan nilai intrinsik dengan nilai nominal pada dinar dan dirham.
Layak dilirik
Mencermati keunggulannya, dinar dan dirham layak kita lirik lebih jauh untuk digunakan sebagai alat transaksi dan sebagai penambah mata uang yang berlaku seperti halnya Saudi Arabia yang tetap memberlakukan real, di samping dinar dan dirham. Sebuah renungan yang perlu dijawab, bagaimana prospek persebaran dinar dan dirham? Ada dua variabel yang perlu kita sorot. Variabel pertama, cukup memberi harapan konstruktif. Dalam perspektif kepentingan nasional Indonesia, dinar dan dirham punya prospek yang cukup cerah. Dilandasi jumlah populasi masyarakat Muslim dan pengalaman pahit devaluasi rupiah terhadap dolar yang merusak sendi ekonomi makro dan mikro, maka kecil kemungkinan terjadi penolakan.
Dalam perspektif regional, baik wilayah Asia Tenggara atau Timur Tengah, kita saksikan jumlah populasi yang lebih fantastik. Bagaimanapun, jumlah 755.366.031 jiwa untuk seluruh penduduk Timur Tengah adalah angka yang sangat gemuk, menjanjikan, dan prospektif jika digarap serius. Tingkat permintaan dinar dan/atau dirham akan jauh lebih ''hiperbolik'' jika dikaitkan dengan kegiatan perdagangan luar negerinya (ekspor-impor). Menurut data Islamic Development Bank (IDB), sekadar data pendukung sampai menjelang tahun 2000-an saja, volume ekspor seluruh negara-negara Islam anggota IDB mencapai 377,9 miliar dolar AS, sedangkan impornya mencapai 382,2 miliar dolar AS.
Mata uang tunggal
Satu hal yang cukup menarik dicatat, pendayagunaan dinar dan dirham secara fantastik praktis akan mengurangi ketergantungan tunggal terhadap dolar AS. Makna reflektifnya adalah akan semakin kecilnya kemungkinan negara-negara pengguna dinar dan dirham setiap saat digoyang produsen dolar AS, juga para fund manager --yang sejauh ini terus malakukan spekulasi secara destruktif untuk kepentingannya sendiri.
Kian mengecilnya ketergantungan terhadap dolar AS --dengan demikian-- akan berkorelasi konstruktif terhadap upaya stabilisasi ekonomi makro dan mikro. Inilah spirit perlindungan kebangsaaan terhadap kepentingan nasional yang seharusnya menjadi warna baru nasionalisme saat ini.
Jika kita tengok ke belahan lain (negara-negara Eropa), tampaknya spirit menjaga stabilitas ekonomi makro itulah yang akhirnya menyepakati mata uang euro. Euro adalah jawaban konstruktif atas ketergantungan tunggal terhadap dolar AS. Kita perlu mencatat, meski dolar masih berlaku sebagai salah satu alat transaksi di belahan Eropa, tapi munculnya euro mampu mengurangi secara signifikan kedigdayaan dolar.
Eropa mampu memberlakukan euro. Mampukah negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim memberlakukan dinar atau dirham? Sikap politik ini sebagai variabel kedua tidak mudah. AS sebagai produsen dolar akan merasa terlecehkan citra nasionalnya jika negara-negara Islam bergerak merapatkan barisan demi kesatuan mata uang.
Jika sang adidaya AS tersinggung, ia tak akan diam. Ia akan mengabaikan hak demokrasi masing-masing negara --termasuk dalam hal penggunaan mata uangnya-- dengan menggencarkan sejumlah rekayasa destruktif. Salah satunya --atas nama kelestarian lingkungan dan sejumlah dalih taktis lainnya-- AS akan memberlakukan sejumlah prosedur yang akan mempersulit kepentingan para eksportir asal negara-negara bermata uang dinar-dirham baru.
Mencermati reaksi AS ini, sebuah pertanyaan yang harus dijawab adalah mampukah negara-negara yang siap memberlakukan dinar-dirham ini mengurangi ketergantungan tunggal ekspornya ke AS? Secara objektif, tantangan itu tidak mudah dijawab karena sudah menikmati sekian lama manisnya ekspor ke belahan AS. Dan bagi negara-negara Islam itu sendiri pun --sangat boleh jadi-- tak rela memutuskan hubungan ekspor ke AS.
Sekadar data, komunikasi bisnis mereka ke negara-negara industri termasuk ke AS mencapai 210,7 miliar dolar AS. Angka yang fantastik ini --secara bisnis ataupun psikologis-- akan membuat dirinya terus terjerat dan sulit keluar dari ketergantungannya. Namun demikian --sebagai refleksi kuatnya nasionalisme dalam arti luas-- para kepala pemerintahan dari negara-negara Islam ataupun para pebisninya perlu mencari pasar baru, misalnya di belahan Eropa sebagai alternatif negara tujuan ekspor.
Jika perlu, antarnegara Islam itu sendiri menciptakan ikatan hubungan ekspor-impor. Barangkali, sudah saatnya, negara-negara Islam membangun ''Pasar Bersama Dunia Islam'' di mana masing-masing dipersilakan mengeksplorasi keberadaan pasar bersama itu secara konstruktif. Hingga menjelang tahun 2000-an, hubungan bisnis antarnegara Islam --boleh jadi karena belum ada Pasar Bersama Dunia Islam-- hanya tercatat 35,9 miliar dolar AS (ekspor) dan hanya 39,4 miliar dolar AS (impor). Sebuah catatan yang cukup memprihatinkan dalam konteks kerja sama ekonomi dan bisnis antarnegara Islam.
Kita berasumsi, pengalihan tujuan ekspor berhasil diwujudkan. Atau -setidaknya-- Pasar Bersama Dunia Islam terealisasi. Akankah AS diam? Tetap. Ia akan bereaksi negatif. Instrumen pengereman melalui amputasi peluang ekspor akan ditindaklanjuti dengan manuver lain yang --bisa jadi-- lebih jauh dan sadis: politicking dalam bentuk mengacaukan situasi politik domestik.
Langkah yang dimainkan bukan penciptaan konflik bilateral dan bersifat langsung dengan AS, tapi rekayasa konflik internal, meski instrumen yang dimainkannya sektor moneter. Dari pintu moneter, akan memanas suhu politik sebagai akibat ketidakpercayaan publik terhadap negara yang tidak mampu mengatasi gejolak ekonomi dan moneter. Bisa juga, melalui aksi politik, yakni dukungan (keberpihakan) terhadap kekuatan separatis atau yang berpotensi besar untuk melakukan pemisahan diri dari Pusat.
Jika kita meneropong sejumlah manuver AS dengan berbagai trik-trik jahatnya, maka prospek pemberlakuan dinar-dirham tetap dipertanyakan, terutama jika diharapkan menjadi mata uang regional yang berlaku di negara-negara Islam, misalnya. Karenanya, agenda pemberlakuannya harus lebih realistis: memenuhi permintaan domestik, terutama dalam kerangka menjawab instabilitas ekonomi makro yang dampaknya memprihatinkan bagi kepentingan ekonomi mikro.
Dengan argumen nasionalisme baru ini, kiranya sang produsen dolar akan memberikan kelonggaran tertentu. Di sinilah --jika Pemerintah mengeluarkan regulasi (perizinan) penggunaan mata uang dinar-dirham yang sah sebagai alat transaksi-- maka persebarannya di Tanah Air akan terlihat. Pada akhirnya, persebaran luasnya akan ikut mengurangi inflasi yang selama ini terus membuntuti, juga tidak terombang-ambing oleh ulah para spekulan. Dan itulah kontribusi nyata sistem moneter syariah yang ikut memperkuat sistem perekonomian nasional, sekaligus memperingan beban ekonomi masyarakat
ditulis oleh : Agus Wahid
Direktur Eksekutif The International Institute of Islamic Thought Indonesia (IIIT-I) Baca Selengkapnya..
Lalu, apakah penggunaan mata uang dinar yang berbahan utama emas 22 karat dan dirham yang berbahan utama perak dapat menyelamatkan destruksi rupiah? Secara empirik, dinar dan dirham belum pernah menyulitkan negara dan bangsa yang menggunakannya. Dan secara teoritik --hal ini yang jauh lebih menarik-- dinar dan dirham terbebas dari tindakan spekulatif dan inflasi, bahkan tindakan pemalsuan.
Dinar dan dirham tak bisa dimainkan sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan. Celah memperdagangkannya memang masih ada. Tapi ketiadaan margin dari transaksinya membuat ketidakmauan para spekulan di manapun. Inilah makna utama mendasar keseimbangan nilai intrinsik dengan nilai nominal pada dinar dan dirham.
Layak dilirik
Mencermati keunggulannya, dinar dan dirham layak kita lirik lebih jauh untuk digunakan sebagai alat transaksi dan sebagai penambah mata uang yang berlaku seperti halnya Saudi Arabia yang tetap memberlakukan real, di samping dinar dan dirham. Sebuah renungan yang perlu dijawab, bagaimana prospek persebaran dinar dan dirham? Ada dua variabel yang perlu kita sorot. Variabel pertama, cukup memberi harapan konstruktif. Dalam perspektif kepentingan nasional Indonesia, dinar dan dirham punya prospek yang cukup cerah. Dilandasi jumlah populasi masyarakat Muslim dan pengalaman pahit devaluasi rupiah terhadap dolar yang merusak sendi ekonomi makro dan mikro, maka kecil kemungkinan terjadi penolakan.
Dalam perspektif regional, baik wilayah Asia Tenggara atau Timur Tengah, kita saksikan jumlah populasi yang lebih fantastik. Bagaimanapun, jumlah 755.366.031 jiwa untuk seluruh penduduk Timur Tengah adalah angka yang sangat gemuk, menjanjikan, dan prospektif jika digarap serius. Tingkat permintaan dinar dan/atau dirham akan jauh lebih ''hiperbolik'' jika dikaitkan dengan kegiatan perdagangan luar negerinya (ekspor-impor). Menurut data Islamic Development Bank (IDB), sekadar data pendukung sampai menjelang tahun 2000-an saja, volume ekspor seluruh negara-negara Islam anggota IDB mencapai 377,9 miliar dolar AS, sedangkan impornya mencapai 382,2 miliar dolar AS.
Mata uang tunggal
Satu hal yang cukup menarik dicatat, pendayagunaan dinar dan dirham secara fantastik praktis akan mengurangi ketergantungan tunggal terhadap dolar AS. Makna reflektifnya adalah akan semakin kecilnya kemungkinan negara-negara pengguna dinar dan dirham setiap saat digoyang produsen dolar AS, juga para fund manager --yang sejauh ini terus malakukan spekulasi secara destruktif untuk kepentingannya sendiri.
Kian mengecilnya ketergantungan terhadap dolar AS --dengan demikian-- akan berkorelasi konstruktif terhadap upaya stabilisasi ekonomi makro dan mikro. Inilah spirit perlindungan kebangsaaan terhadap kepentingan nasional yang seharusnya menjadi warna baru nasionalisme saat ini.
Jika kita tengok ke belahan lain (negara-negara Eropa), tampaknya spirit menjaga stabilitas ekonomi makro itulah yang akhirnya menyepakati mata uang euro. Euro adalah jawaban konstruktif atas ketergantungan tunggal terhadap dolar AS. Kita perlu mencatat, meski dolar masih berlaku sebagai salah satu alat transaksi di belahan Eropa, tapi munculnya euro mampu mengurangi secara signifikan kedigdayaan dolar.
Eropa mampu memberlakukan euro. Mampukah negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim memberlakukan dinar atau dirham? Sikap politik ini sebagai variabel kedua tidak mudah. AS sebagai produsen dolar akan merasa terlecehkan citra nasionalnya jika negara-negara Islam bergerak merapatkan barisan demi kesatuan mata uang.
Jika sang adidaya AS tersinggung, ia tak akan diam. Ia akan mengabaikan hak demokrasi masing-masing negara --termasuk dalam hal penggunaan mata uangnya-- dengan menggencarkan sejumlah rekayasa destruktif. Salah satunya --atas nama kelestarian lingkungan dan sejumlah dalih taktis lainnya-- AS akan memberlakukan sejumlah prosedur yang akan mempersulit kepentingan para eksportir asal negara-negara bermata uang dinar-dirham baru.
Mencermati reaksi AS ini, sebuah pertanyaan yang harus dijawab adalah mampukah negara-negara yang siap memberlakukan dinar-dirham ini mengurangi ketergantungan tunggal ekspornya ke AS? Secara objektif, tantangan itu tidak mudah dijawab karena sudah menikmati sekian lama manisnya ekspor ke belahan AS. Dan bagi negara-negara Islam itu sendiri pun --sangat boleh jadi-- tak rela memutuskan hubungan ekspor ke AS.
Sekadar data, komunikasi bisnis mereka ke negara-negara industri termasuk ke AS mencapai 210,7 miliar dolar AS. Angka yang fantastik ini --secara bisnis ataupun psikologis-- akan membuat dirinya terus terjerat dan sulit keluar dari ketergantungannya. Namun demikian --sebagai refleksi kuatnya nasionalisme dalam arti luas-- para kepala pemerintahan dari negara-negara Islam ataupun para pebisninya perlu mencari pasar baru, misalnya di belahan Eropa sebagai alternatif negara tujuan ekspor.
Jika perlu, antarnegara Islam itu sendiri menciptakan ikatan hubungan ekspor-impor. Barangkali, sudah saatnya, negara-negara Islam membangun ''Pasar Bersama Dunia Islam'' di mana masing-masing dipersilakan mengeksplorasi keberadaan pasar bersama itu secara konstruktif. Hingga menjelang tahun 2000-an, hubungan bisnis antarnegara Islam --boleh jadi karena belum ada Pasar Bersama Dunia Islam-- hanya tercatat 35,9 miliar dolar AS (ekspor) dan hanya 39,4 miliar dolar AS (impor). Sebuah catatan yang cukup memprihatinkan dalam konteks kerja sama ekonomi dan bisnis antarnegara Islam.
Kita berasumsi, pengalihan tujuan ekspor berhasil diwujudkan. Atau -setidaknya-- Pasar Bersama Dunia Islam terealisasi. Akankah AS diam? Tetap. Ia akan bereaksi negatif. Instrumen pengereman melalui amputasi peluang ekspor akan ditindaklanjuti dengan manuver lain yang --bisa jadi-- lebih jauh dan sadis: politicking dalam bentuk mengacaukan situasi politik domestik.
Langkah yang dimainkan bukan penciptaan konflik bilateral dan bersifat langsung dengan AS, tapi rekayasa konflik internal, meski instrumen yang dimainkannya sektor moneter. Dari pintu moneter, akan memanas suhu politik sebagai akibat ketidakpercayaan publik terhadap negara yang tidak mampu mengatasi gejolak ekonomi dan moneter. Bisa juga, melalui aksi politik, yakni dukungan (keberpihakan) terhadap kekuatan separatis atau yang berpotensi besar untuk melakukan pemisahan diri dari Pusat.
Jika kita meneropong sejumlah manuver AS dengan berbagai trik-trik jahatnya, maka prospek pemberlakuan dinar-dirham tetap dipertanyakan, terutama jika diharapkan menjadi mata uang regional yang berlaku di negara-negara Islam, misalnya. Karenanya, agenda pemberlakuannya harus lebih realistis: memenuhi permintaan domestik, terutama dalam kerangka menjawab instabilitas ekonomi makro yang dampaknya memprihatinkan bagi kepentingan ekonomi mikro.
Dengan argumen nasionalisme baru ini, kiranya sang produsen dolar akan memberikan kelonggaran tertentu. Di sinilah --jika Pemerintah mengeluarkan regulasi (perizinan) penggunaan mata uang dinar-dirham yang sah sebagai alat transaksi-- maka persebarannya di Tanah Air akan terlihat. Pada akhirnya, persebaran luasnya akan ikut mengurangi inflasi yang selama ini terus membuntuti, juga tidak terombang-ambing oleh ulah para spekulan. Dan itulah kontribusi nyata sistem moneter syariah yang ikut memperkuat sistem perekonomian nasional, sekaligus memperingan beban ekonomi masyarakat
ditulis oleh : Agus Wahid
Direktur Eksekutif The International Institute of Islamic Thought Indonesia (IIIT-I) Baca Selengkapnya..
Selasa, 10 Maret 2009
Mendeteksi Dinar Palsu
Beredarnya kembali dinar emas dan dirham perak merupakan salah satu tanda kebangkitan Islam, melalui jalur yang haq dengan hadirnya amirat-amirat. Perlu kita waspadai kemungkinan pemalsuan koin-koin tersebut.
Pemalsuan koin dinar emas dan dirham perak pada zaman dahulu lazimnya dilakukan oleh orang Yahudi dan orang Zindiq, untuk mengeruk keuntungan dengan cara bathil, yang oleh ulama Salaf disebut dinar-dirham magsyusah. Kini pemalsuan bisa dilakukan oleh siapa saja, yang berniat menipu dengan menggunakan teknologi terkini.
Dinar dirham yang beredar di Indonesia dan di penjuru dunia mengikuti standar WITO. Dinar adalah emas 91,7% dengan berat 4,25 gram dan diameter 23 mm, dan dirham adalah perak 99,9% dengan berat 2,975 gram dan diameter 25 mm. Koin dinar emas dan dirham perak yang diedarkan di Indonesia, dicetak dan dipesan oleh Islamic Mint yang saat ini otoritasnya berada di bawah Amirat Indonesia. Saat ini distribusinya dilaksanakan oleh Wakala Induk Nusantara (WIN), sesudah koin secara amanah ditimbang dan di uji kadar ulang di laboratorium di bawah pengawasan seorang Amir. Maka dinar emas dan dirham perak yang tidak diawasi secara syar'i diperlakukan sebagai barang perhiasan, atau disebut medal, dan boleh ditolak oleh muhtasib di pasar.
Untuk mengetahui keaslian koin kita dengan mudah kita dapat mendeteksinya melalui beberapa tahap sebagai berikut:
1. Melihat relief koin dengan kaca pembesar, Luv 10x. Cetakan koin yang asli dibuat secara tempa (struck) sehingga hasilnya sangat jelas timbul. Sedangkan koin palsu dibuat pada umumnya dengan cara dicor (casted) maka hasil yang didapat kurang timbul, bahkan blobor. Pada koin palsu sering kali nampak lubang-lubang kecil bekas gelembung udara, yang disebabkan oleh pembakaran yang tidak sempurna. Kalaupun dibuat dengan meniru koin asli yang dipindai ulang, dan ditempa, jelas akan terlihat spektrum relief yang tinggi rendahnya berbeda dengan aslinya. Karena pada proses stamping digunakan matris yang tidak sah yang dibuat oleh si penipu. Hasil karya tiap coinage engraver berbeda-beda, dan mempunyai ciri khas seperti halnya pelukis di atas kanpas.
2. Perhatikan mint mark atau tanda cetak pada koin dengan luv 10x. Sebab setiap stamping yang terlalu sering, matris menjadi cepat tumpul dan harus diganti agar menghasilkan koin yang berkualitas. Biasanya tiap regenerasi minting, mint master memberikan ciri-ciri khusus agar koin buatannya tidak mudah dipalsukan. Biasanya berupa inisial, gambar tersamar atau kode.
3. Perhatikan gerigi tepi koin. Ada bermacam-macam gerigi tepi koin yaitu: bergerigi lurus (reeded edge), bergerigi miring (milled edge atau oblique edge), berbentuk tulisan (lettering), baik yang berbentuk tulisan timbul (raise lettering) maupun yang berbentuk tulisan dalam (intaglio lettering), atau berbentuk rantai (chain edge). Luv dapat anda beli di toko buku, toko numismatik, atau toko alat-alat emas.
4. Mengukur diameter koin dengan sigmat atau lubang pengukur koin. Apabila mengukur dengan sigmat, maka harus dilakukan lebih hati-hati karena dapat merusak koin - tergores. Yang lebih aman dan praktis dengan lubang pengukur. Lubang pengukur koin dapat dibeli di toko numismatik.
5. Menimbang dengan timbangan emas. Standar berat koin asli sangat berbeda dengan berat koin palsu. Sebagai contoh: koin perak zaman Belanda 1 gulden beratnya 10 gram, maka bila ditemukan berat yang menyimpang, misalnya 10,12 gram sudah jelas koin ini palsu. Atau bila ditemukan berat 9,85 gram juga bisa dianggap palsu, meskipun terjadi pada koin asli yang dikikis dengan sengaja. Karena dalam kondisi wajar, koin emas-perak dengan diameter 23-27 mm, yang berpindah tangan sampai 1000x tidak akan kehilangan beratnya. Bahkan bertambah berat dengan timbunan garam keringat yang menempel pada koin, tetapi bobotnya bertambah tidak melebihi 0,05 gram. Bila dicuci dengan pasta gigi atau larutan asam yang diperbolehkan, beratnya akan kembali normal. Kalaupun koin tergesek dengan koin lainnya di kantong yang berguncang, secara wajar sampai 120x akan kehilangan beratnya 0,01 gram, maka apabila koin telah kehilangan beratnya 0,08 gram dianggap sebagai koin lancung.
6. Menguji berat jenis, yaitu dengan uji timbang kering dan timbang basah. Apabila anda tidak memiliki peralatannya cukup dibawa ke laboratorium di Wakala Induk Nusantara (WIN), Wakala IMN (Bandung) atau Wakala Ribat (Jakarta), atau ke tempat lain yang dapat dipercaya.
penulis : Sufyan al Jawi - Numismatik Indonesia
sumber : www.wakalanusantara.com Baca Selengkapnya..
Jumat, 06 Maret 2009
Tentang Dinar Dirham
1. Apa Dinar dan Dirham itu?
Dinar Islam adalah koin yang terbuat dari emas berkadar 22 karat (91,70%) dengan berat 4,25 gram. Dirham Islam adalah koin yang terbuat dari logam perak murni dengan berat 3 gram.
2. Apa kegunaan Dinar dan Dirham?
Dinar dan Dirham berguna sebagai alat pembayaran zakat agar sesuai rukun zakat sebagaimana diwajibkan dalam syariah dan sunnah, juga dapat digunakan sebagai tabungan dan investasi, sebagai alat tukar atau mata uang, serta sebagai mahar, serta sedekah atau hadiah.
3. Apa keuntungan menggunakan Dinar dan Dirham?
Keuntungan utamanya adalah kembali menunaikan Muamalat dan membayar zakat sebagaimana diwajibkan dalam syariah dan sunnah serta menggunakan alat tukar yang halal. Harta anda juga akan terselamatkan dari gerogotan inflasi. Ketika nilai tukar mata uang kertas anda terus merosot, nilai dinar emas anda akan terus meningkat. Pada 2003 (per Oktober) nilai tukar Dinar adalah Rp. 450.000, 2005 jadi Rp. 652.000, 2006 jadi Rp.785.000, 2007 jadi Rp. 947.000 dan pada 2008 nilai tukar Dinar telah melewati Rp. 1.200.000. Apresiasi Dinar emas per tahunnya adalah sekitar 25%.
4. Siapa yang mencetak Dinar?
Dinar dan Dirham dicetak oleh Islamic Mint di berbagai kota di dunia, di Indonesia berada dibawah Amirat Jakarta. Pencetakan Dinar dan Dirham sendiri secara fisik dilakukan oleh PP Logam Mulia Indonesia, anak perusahaan PT. Aneka Tambang, sebuah BUMN. Standar Dinar dan Dirham ini mengikuti ketentuan dari WITO (World Islamic Trading Organization).
5. Berapa nilai tukarnya?
Nilai tukar dinar dan Dirham mengikuti harga pasar emas dan perak dunia yang berlaku pada saat transaksi, ditambah dengan sedikit ongkos cetak dan biaya distribusi. Nilai tukar Dinar bisa diketahui di www.wakalanusantara.com atau http://tri-wakalaalbanadinardirham.blogspot.com setiap harinya, atau menelpon ke no 021 27157654
6. Apakah Dinar bisa ditukar kembali?
Dinar bisa ditukar kembali di wakala-wakala yang terdekat dengan anda, termasuk wakala albana. Wakala akan menukar Dinar dari anda senilai nilai tukar koin saat ini, dengan dikenai service fee sebesar 4%.
dengan kata lain Dinar anda akan dinilai kembali setara 96% dari nilai dinar pada saat transaksi Baca Selengkapnya..
Kamis, 05 Maret 2009
DEPOSITO VS DINAR
mungkin masih banyak sekali masyarakat di indonesia ini yang belum mengetahui koin emas bernama dinar. koin yang begitu berharga dibandingkan mata uang kertas,(rupiah, yen, dollar,etc). bagaimana tidak, hari ini saja, dikantorku, prang di ruangan ku sama sekali blm tahu dinar, baik dalam kaca mata investasi maupun sebagai mata uang. ketika saya jalaska tentang fenomena dinar, mereka seakan terbelalak dengan dinar. bahkan ada argumen mereka."lebih menguntungkan dinar dari pada deposito". lalu saya mencoba memberikan ilustrasi, diawal tahun 2008 kita sama-sama manaruh uang, 50 juta deposito, 50 juta berbentuk dinar. dan kita lihat bagaimana perubahannya ketika akhir tahun 2008 sama-sama kita cairkan dengan nilai rupiah. taruh saja suku bunga bank saat itu 10% maka dari 50 juta ada kelebihan akibat bunga(saya menyebutnya RIBA.) sekitar 5juta, jadi total uang yang di terima pada akhir tahun 55 juta.dan harus kembali di kurangi inflasi saat mencairkan yaitu sekitar 12 %.sedangkan dinar pertambahan nilainya hampir 12.500.000 rupiah dengan kata lain kita bisa uangkan dinar dengan rupiah sekitar 62.500.000. di jamin bebas RIBA. lebih baik bukan..pada akhirnya mereka tertarik untuk berinvestasi ke dalam dinar.. dan tentunya kita terhindar dari Praktik RIBA. so..siapa yang akan menyusul menggunakan koin emas berbentuk DINAR...????
saatnya beraksi bukan hanya bicara... Baca Selengkapnya..
saatnya beraksi bukan hanya bicara... Baca Selengkapnya..
Minggu, 01 Maret 2009
Khamsa, Kembali Hadir
Mulai hari Senin, 2 Maret 2009 Wakala Induk Nusantara (WIN) kembali mencetak dan mengedarkan Dirham, dalam bentuk pecahan Khamsa (5 Dirham).
Dengan makin aktifnya transaksi menggunakan dinar dan dirham sebagai alat tukar, baik di kalangan anggota JAWARA (Jaringan Wirausahawan Pengguna Dinar Dirham Nusantara) maupun kalangan lainnya, kebutuhan akan adanya koin dirham semakin terasa. Dirham diperlukan untuk transaksi-transaksi kecil dan sedang. Karena itu, mulai hari Senin, 2 Maret 2009 Wakala Induk Nusantara (WIN) kembali mencetak dan mengedarkan Dirham, dalam bentuk pecahan Khamsa (5 Dirham). Satuan koin Dirham yang lebih kecil, sementara ini, masih belum tersedia.
Sementara menunggu hadirnya koin 1 Dirham, kehadiran Khamsa sudah mulai dapat digunakan sebagai sarana lindung nilai dan alat pembayaran barter sukarela, baik oleh sesama anggota JAWARA, pemilik Titipan Badar dan m-Badar, maupun siapa saja yang menerimanya. Untuk masyarakat yang memerlukan koin Khamsa dapat menghubungi salah satu wakala terdekat.
Sehubungan dengan hal di atas, maka mulai Senin 2 Maret 2009, nilai tukar yang dikeluarkan oleh WIN untuk koin perak, akan mengacu kepada ketersediaan koin fisik yang ada, yaitu koin Khamsa (5 Dirham). Spesifikasi Khamsa mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh WITO (World Islamic Trading Organization), yang mengacu kepada standar baku dari Khalifah Umar ibn Khattab, yakni 5 x 2.975 gram perak murni, atau 14.875 gram perak murni.
Kita mohon kepada Allah, subhanahu wa ta'ala, agar kehadiran Khamsa menjadi gerbang awal kembalinya koin 1 Dirham dan agar niat serta amal kita senantiasa dijaga kelurusannya. Kita mohon kepada Allah subhanahu wa ta�ala agar memudahkan pergerakan dirham dan khamsa dari tangan ke tangan, melalui perdagangan yang halal. Amin.
sumber :www.wakalanusantara.com Baca Selengkapnya..
Dengan makin aktifnya transaksi menggunakan dinar dan dirham sebagai alat tukar, baik di kalangan anggota JAWARA (Jaringan Wirausahawan Pengguna Dinar Dirham Nusantara) maupun kalangan lainnya, kebutuhan akan adanya koin dirham semakin terasa. Dirham diperlukan untuk transaksi-transaksi kecil dan sedang. Karena itu, mulai hari Senin, 2 Maret 2009 Wakala Induk Nusantara (WIN) kembali mencetak dan mengedarkan Dirham, dalam bentuk pecahan Khamsa (5 Dirham). Satuan koin Dirham yang lebih kecil, sementara ini, masih belum tersedia.
Sementara menunggu hadirnya koin 1 Dirham, kehadiran Khamsa sudah mulai dapat digunakan sebagai sarana lindung nilai dan alat pembayaran barter sukarela, baik oleh sesama anggota JAWARA, pemilik Titipan Badar dan m-Badar, maupun siapa saja yang menerimanya. Untuk masyarakat yang memerlukan koin Khamsa dapat menghubungi salah satu wakala terdekat.
Sehubungan dengan hal di atas, maka mulai Senin 2 Maret 2009, nilai tukar yang dikeluarkan oleh WIN untuk koin perak, akan mengacu kepada ketersediaan koin fisik yang ada, yaitu koin Khamsa (5 Dirham). Spesifikasi Khamsa mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh WITO (World Islamic Trading Organization), yang mengacu kepada standar baku dari Khalifah Umar ibn Khattab, yakni 5 x 2.975 gram perak murni, atau 14.875 gram perak murni.
Kita mohon kepada Allah, subhanahu wa ta'ala, agar kehadiran Khamsa menjadi gerbang awal kembalinya koin 1 Dirham dan agar niat serta amal kita senantiasa dijaga kelurusannya. Kita mohon kepada Allah subhanahu wa ta�ala agar memudahkan pergerakan dirham dan khamsa dari tangan ke tangan, melalui perdagangan yang halal. Amin.
sumber :www.wakalanusantara.com Baca Selengkapnya..
Selasa, 24 Februari 2009
Asuransi atau DINAR????
Masyarakat mungkin sudah banyak tahu tentang berbagai macam produk asuransi. asuransi pendidikan, kesehatan, kendaraan atau apalah namanya. pihak pemasaran asuransi berlomba-lomba menyakinkan konsumen agar mengikuti program sauransinya. begitupun saya. hari ini, 25 Februari 2009 saya mendapatkan surat elektronik (email) yang intinya menawarkan asuransi. beberapa waktu lalu saya juga ditawari oleh teman saya yang bekerja di salah satu perusahaan asuransi, ia menawarkan asuransi pendidikan untuk anak saya. namun saya menolaknya. saya menjelaskan bahwa saya telah mempersiapkan biaya pendidikan dengan memakai dinar. mengapa saya memakai dinar untuk pendidikan anak saya? jawabannya sangat sederhana, karena nilai Dinar sangat stabil. kenapa demikian. pada tahun 2007 saat itu biaya masuk sekolah Taman Kanak-kanak sekitar Rp. 2.500.000 dan masuk SDIT di daerah bekasi sekitar Rp. 6.500.000. saat ini tahun 2009 masuk TK yang sama Rp. 3.500.000 dan SDIT yang sama Rp. Rp. 8.000.000. lalu kita konversikan dengan nilai dinar. Dinar pada tahun 2007 1 dinar emas = Rp. 950.000 jadi untuk masuk sekolah TK paling tidak 3 Dinar (masih lebih sekitar Rp. 250.000) dan sekolah SD 7 Dinar (berlebih Rp. 650.000). Ditahun 2009 saat ini nilai tukar dinar Rp. 1.576.411 berarti untuk masuk sekolah TK membutuhkan 3 Dinar (masih berlebih sekitar Rp. 1.200.000) dan masuk SD membutuhkan 6 Dinar (berlebih Rp. 1.450.000) disini telah membuktikan bahwa nilai dinar lebih stabil dan cenderung meningkat dari nilai rupiah kita. serta dari segi syar'i kita juga terlindung dari hutang. bukankah Rosulullah melarang kita untuk berhutang. kemudian tidak ada orang yang menjamin kita untuk hidup terus setelah melunasi segala premi asuransi. kalau kita tiba-tiba dipanggil oleh Allah SWT sementara hutang premi kita belum lunas. maka kita meninggal masih menanggung hutang.
Dinar telah membuktikan betapa stabilnya nilai dinar. kini semua kembali kepada pembaca. apakah ingin selamanya berhutang atau mulai saat ini kita mulai mengkonversikan rupiah kita untuk masa depan anak-anak kita, keluarga kita. agar lebih tentram dan menyejahterakan serta bebas dari segala RIBA. Wallahu'alam Baca Selengkapnya..
Dinar telah membuktikan betapa stabilnya nilai dinar. kini semua kembali kepada pembaca. apakah ingin selamanya berhutang atau mulai saat ini kita mulai mengkonversikan rupiah kita untuk masa depan anak-anak kita, keluarga kita. agar lebih tentram dan menyejahterakan serta bebas dari segala RIBA. Wallahu'alam Baca Selengkapnya..
fenomena dinar
Satu tahun lalu, tepatnya tanggal 21 Februari 2008 saya baru memulai menukarkan rupiah saya dengan Dinar emas. Saat itu 1 keping dinar emas bernilai Rp. 1.197.930 dan kini nilai satu keping dinar emas bernilai Rp. 1.619.417 (23 Februari 2009). sungguh fenomena. Yang patut diketahui oleh masyarakat adalah bukan nilai dinar yang naik, namun sesungguhnya nilai rupiah kita yang terus menerus turun. Bayangkan dalam waktu 1 tahun saja sekitar Rp. 421.487 turunnya nilai rupiah kita. Atau sekitar 35,2 % rupiah terkena Inflasi. Sekali lagi bukan nilai dinar yang mengalami kenaikan namun nilai mata uang rupiah yang mengalami penurunan. Ketika kita bandingkan dengan kita menaruh uang ke bank sebanyak Rp. 11.979.300 pada tanggal 21 Februari 2008 (setara dengan 10 keping dinar emas) saat ini tanggal 23 Februari 2009, sebagai hitungan, biaya administrasi satu bulan Rp. 5.000, setahun Rp. 60.000, bunga/bagi hasil (=RIBA) satu bulan sekitar Rp. 24.000, setahun Rp. 288.000. jadi total uang kita di bank sebesar Rp. 7.910.330 (Rp. 11.979.300 + 288.000 – 60.000 – 35,2% (Inflasi) = Rp. 7.910.330) dengan kata lain uang Rp. 11.979.300 pada tanggal 21 Februari 2008 sama dengan Rp. 7.910.330 pada tanggal 23 Februari 2009. kebanyakan masyarakat belum sadar akan hal ini. Sedangkan nilai dinar sangat fantastis. Ketika di rupiahkan menjadi Rp. 16.194.170 (Rp. 1.619.417 x 10 dinar = Rp. 16.194.170). tanpa terkena inflasi dan tentunya 100% halal. Pertama harta kita secara nilai terselamatkan dan secara syar’i terbebas dari segala bentuk RIBA. Saat ini masyarakat pun harus tahu akan tipu muslihat ini. Agar harta kita tidak digerogoti oleh inflasi. Apakah kita ingin menunggu perekonomian kita hancur atau mulai dari sekarang kita lindungi harta kita dari segala bentuk penindasan kapitalisme..???? Wallahu’alam
Baca Selengkapnya..
Kualitas Emas di Pasar Jabotabek
Sistem jual beli emas di pasaran kita memprihatinkan, karena tanpa sistem dan standar yang menjamin konsistensi harga, berat dan kadarnya.
Pembeli perhiasan harus membayar emas plus ongkos pembuatan. Tapi, ketika menjualnya kembali, toko tidak mau membayar ongkos pembuatan tersebut. Harga emasnya pun dikorting. Acap kali toko emas dengan toko emas lain saling tidak mengakui kebenaran kadar emas dan berat yang dicantumkan dalam nota pembelian.
Survei Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ, 2007) menunjukkan masalah kacaunya kualitas dan harga emas ini. Penelitian dilakukan di wilayah Jabotabek, dengan teknik batu uji dan ditimbang dengan menggunakan timbangan digital, oleh Perum Pegadaian, Cabang Jakarta Selatan. Emas yang diuji adalah emas yang menurut pengakuan penjualnya berkadar 22 karat. Untuk perbandingan, diambil sampel emas 22 karat yang dikeluarkan oleh PT. Aneka Tambang yang berkadar 91,70 %, dalam bentuk koin Dinar.
Dari penelitian ini ditemukan adanya perbedaan antara hasil pengujian dan diklaim penjual emas. Mulai dari kekurangan hingga kelebihan berat. Meskipun selisihnya relatif kecil, hal ini menggambarkan tidak adanya kepastian dalam penentuan berat emas. Tabel 1 menunjukkan emas yang dijual di Blok M, ternyata lebih ringan dari berat hasil pengujian, sebesar 0.1 gr. Sementara emas yang dijual di Sunter, Kalideres, Bogor, Tangerang, Serpong, dan Bekasi, lebih berat dari hasil pengujian, sebesar 0.1 gr. Perbedaan angka dan pengaruhnya terhadap harga emas yang sangat kecil ini umum terjadi dan tidak dipersoalkan dalam praktek jual-beli.
Perbedaan berat yang lebih besar terjadi pada emas yang dijual di Pulo Gadung dan Parung, penjual mengklaim lebih berat 0.3 gr dari hasil pengujian. Yang menarik, perbedaan ini tidak hanya terjadi luar Jakarta, tetapi juga di wilayah Jakarta yang relatif lebih terjamin alat ukurnya.
Perbedaan berat ini dapat terjadi pada penjual yang menggunakan timbangan atau neraca manual sebagai alatnya, sedangkan bila menggunakan timbangan digital lebih sesuai dengan berat pengujian, tergantung kesamaan digit angka yang digunakan. Selain itu bisa terjadi karena proses penimbangan emas tidak disaksikan di hadapan pembeli, sehingga dalam kasus seperti ini penjual tidak jujur kepada konsumennya.
Perbedaan juga terjadi pada penetapan karat dan persentase massa emas. Perbedaan hampir terjadi pada semua wilayah yang diambil sampelnya, dengan selisih antara 2- 6 karat. Sedangkan penentuan massa emas relatif sama di semua wilayah. Konversi dari karatase ke prosentse massa sebenarnya standar. Rumus standar prosentasi yang digukanan adalah jumlah karat dibagi 24 dikali 100. Daftar konversi karat ke persentase emas adalah sebagai berikut:
Pembulatan angka tampaknya sudah umum terjadi dan diterima dalam praktek jual beli. Selengkapnya hasil pengujian dan penaksiran kadar emas ada pada Tabel 3.
Perbedaan dua karat terjadi pada penjualan emas di daerah Sunter, Pasar Minggu, dan Citayam. Perbedaan empat karat terjadi pada penjualan emas di daerah Senen dan Blok M. Sedangkan perbedaan hingga enam karat terjadi di banyak tempat, yaitu Mangga Dua, Tanjung Priok, Kebun Jeruk, Kalideres, Jatinegara, Bogor, Bojong Gede, Tangerang dan Kranji. Penetapan karat yang sesuai pengujian hanya terdapat di daerah Pasar Minggu, Depok dan Koin Dinar. Dalam penetapan karat ini ada juga penjual yang tidak mencantumkannya secara jelas, yaitu di daerah Parung, Ciputat, Serpong, Bekasi, dan Pondok Gede.
Adanya perbedaan karat ini merupakan satu bentuk pengelabuan terhadap konsumen. Hal ini menyebabkan ketiadaan jaminan kepastian karat emas dalam praktek jual-beli. Ini berpengaruh terhadap harga emas.
Sedangkan persentase massa yang berbeda terjadi di wilayah Blok M, Pasar Minggu, Citayam, dan Bekasi. Tidak semua penjual mencantumkan persentase massa ini. Hal ini disebabkan karena belum ada keharusan untuk mencantumkan persentase massa pada bukti penjualan. Bila sesuai rumus standarnya, maka persentase untuk emas berkarat 16 adalah 66.6%, namun dalam praktek jual-beli sering dibulatkan hingga 70%, dan hal ini tidak dipersoalkan.
Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil pengujian terdapat perbedaan berat, kadar dan persentase massa emas yang dijual di pasaran. Perbedaan berat dapat terjadi karena perbedaan jenis alat timbangan yang digunakan.
2. Adanya penetapan harga emas yang berbeda di masing-masing wilayah. Hal ini karena belum ada standardisasi harga yang dapat dirujuk oleh setiap pedagang emas sehingga menimbulkan variasi harga emas di pasaran
3. Adanya perbedaan berat dan kadar membuktikan adanya ketidakbenaran klaim berat dan kadar dari penjual yang sangat merugikan konsumen.
4. Koin Dinar Emas dari PT Aneka Tambang terbukti memiliki kadar dan berat yang paling terjamin ketepatannya.
(Disarikan dari �Kebenaran Klaim kadar dan Berat Emas� dalam Rambu Belanja Bagi Konsumen, LKJ, 2007, h. 134-148)
sumber : www.wakalanusantara.com Baca Selengkapnya..
Pembeli perhiasan harus membayar emas plus ongkos pembuatan. Tapi, ketika menjualnya kembali, toko tidak mau membayar ongkos pembuatan tersebut. Harga emasnya pun dikorting. Acap kali toko emas dengan toko emas lain saling tidak mengakui kebenaran kadar emas dan berat yang dicantumkan dalam nota pembelian.
Survei Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ, 2007) menunjukkan masalah kacaunya kualitas dan harga emas ini. Penelitian dilakukan di wilayah Jabotabek, dengan teknik batu uji dan ditimbang dengan menggunakan timbangan digital, oleh Perum Pegadaian, Cabang Jakarta Selatan. Emas yang diuji adalah emas yang menurut pengakuan penjualnya berkadar 22 karat. Untuk perbandingan, diambil sampel emas 22 karat yang dikeluarkan oleh PT. Aneka Tambang yang berkadar 91,70 %, dalam bentuk koin Dinar.
Dari penelitian ini ditemukan adanya perbedaan antara hasil pengujian dan diklaim penjual emas. Mulai dari kekurangan hingga kelebihan berat. Meskipun selisihnya relatif kecil, hal ini menggambarkan tidak adanya kepastian dalam penentuan berat emas. Tabel 1 menunjukkan emas yang dijual di Blok M, ternyata lebih ringan dari berat hasil pengujian, sebesar 0.1 gr. Sementara emas yang dijual di Sunter, Kalideres, Bogor, Tangerang, Serpong, dan Bekasi, lebih berat dari hasil pengujian, sebesar 0.1 gr. Perbedaan angka dan pengaruhnya terhadap harga emas yang sangat kecil ini umum terjadi dan tidak dipersoalkan dalam praktek jual-beli.
Perbedaan berat yang lebih besar terjadi pada emas yang dijual di Pulo Gadung dan Parung, penjual mengklaim lebih berat 0.3 gr dari hasil pengujian. Yang menarik, perbedaan ini tidak hanya terjadi luar Jakarta, tetapi juga di wilayah Jakarta yang relatif lebih terjamin alat ukurnya.
Perbedaan berat ini dapat terjadi pada penjual yang menggunakan timbangan atau neraca manual sebagai alatnya, sedangkan bila menggunakan timbangan digital lebih sesuai dengan berat pengujian, tergantung kesamaan digit angka yang digunakan. Selain itu bisa terjadi karena proses penimbangan emas tidak disaksikan di hadapan pembeli, sehingga dalam kasus seperti ini penjual tidak jujur kepada konsumennya.
Perbedaan juga terjadi pada penetapan karat dan persentase massa emas. Perbedaan hampir terjadi pada semua wilayah yang diambil sampelnya, dengan selisih antara 2- 6 karat. Sedangkan penentuan massa emas relatif sama di semua wilayah. Konversi dari karatase ke prosentse massa sebenarnya standar. Rumus standar prosentasi yang digukanan adalah jumlah karat dibagi 24 dikali 100. Daftar konversi karat ke persentase emas adalah sebagai berikut:
Pembulatan angka tampaknya sudah umum terjadi dan diterima dalam praktek jual beli. Selengkapnya hasil pengujian dan penaksiran kadar emas ada pada Tabel 3.
Perbedaan dua karat terjadi pada penjualan emas di daerah Sunter, Pasar Minggu, dan Citayam. Perbedaan empat karat terjadi pada penjualan emas di daerah Senen dan Blok M. Sedangkan perbedaan hingga enam karat terjadi di banyak tempat, yaitu Mangga Dua, Tanjung Priok, Kebun Jeruk, Kalideres, Jatinegara, Bogor, Bojong Gede, Tangerang dan Kranji. Penetapan karat yang sesuai pengujian hanya terdapat di daerah Pasar Minggu, Depok dan Koin Dinar. Dalam penetapan karat ini ada juga penjual yang tidak mencantumkannya secara jelas, yaitu di daerah Parung, Ciputat, Serpong, Bekasi, dan Pondok Gede.
Adanya perbedaan karat ini merupakan satu bentuk pengelabuan terhadap konsumen. Hal ini menyebabkan ketiadaan jaminan kepastian karat emas dalam praktek jual-beli. Ini berpengaruh terhadap harga emas.
Sedangkan persentase massa yang berbeda terjadi di wilayah Blok M, Pasar Minggu, Citayam, dan Bekasi. Tidak semua penjual mencantumkan persentase massa ini. Hal ini disebabkan karena belum ada keharusan untuk mencantumkan persentase massa pada bukti penjualan. Bila sesuai rumus standarnya, maka persentase untuk emas berkarat 16 adalah 66.6%, namun dalam praktek jual-beli sering dibulatkan hingga 70%, dan hal ini tidak dipersoalkan.
Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil pengujian terdapat perbedaan berat, kadar dan persentase massa emas yang dijual di pasaran. Perbedaan berat dapat terjadi karena perbedaan jenis alat timbangan yang digunakan.
2. Adanya penetapan harga emas yang berbeda di masing-masing wilayah. Hal ini karena belum ada standardisasi harga yang dapat dirujuk oleh setiap pedagang emas sehingga menimbulkan variasi harga emas di pasaran
3. Adanya perbedaan berat dan kadar membuktikan adanya ketidakbenaran klaim berat dan kadar dari penjual yang sangat merugikan konsumen.
4. Koin Dinar Emas dari PT Aneka Tambang terbukti memiliki kadar dan berat yang paling terjamin ketepatannya.
(Disarikan dari �Kebenaran Klaim kadar dan Berat Emas� dalam Rambu Belanja Bagi Konsumen, LKJ, 2007, h. 134-148)
sumber : www.wakalanusantara.com Baca Selengkapnya..
Langganan:
Postingan (Atom)