Kamis, 03 September 2009

Emas Kembali Menjadi Uang Dunia?

Secara material, emas dan perak adalah benda universal.

Artinya dari mana pun asalnya kedua benda mulia ini memiliki kualitas yang sama, sepanjang kemurniannya sama.Tidak ada fakta bahwa emas Indonesia lebih bermutu dibanding emas Amerika Serikat, atau perak Cikotok lebih baik dibanding perak dari Papua. Secara historis, dan dalam pengalaman nyata kehidupan umat manusia dalam kurun ribuan tahun, emas dan perak juga memiliki nilai tukar yang universal.

Dalam konteks itulah kita dapat memahami kembali pernyataan Imam Ghazali bahwa emas dan perak adalah hakim muamalat yang paling adil. Emas dan perak tidak dapat dimanipulasi. Nilai tukarnya bukan saja universal tetapi juga tak pernah berubah. Secara alamiah emas dan perak tidak mengandung inflasi. Fluktuasi nilai tukarnya, kalau terjadi, hanya bersifat sementara dan sepenuhnya akibat dari berlakunya hukum pasokan-permintaan, dan selalu dalam kaitannya dengan komoditas lain. Peningkatan harga emas dan perak yang kita lihat saat ini adalah akibat kaca mata kita yang terbalik, memandangnya dari penurunan nilai mata uang kertas.

Dalam sistem uang kertas, yang memungkinkan penggelembungan terus menerus, untuk memenuhi nafsu manusia -dalam syariat kita sebut riba- krisis finansial dan moneter adalah keniscayaan. Dalam sistem mata uang bimetalik (emas dan perak) krisis semu semacam ini tidak pernah kita kenal. Karenanya secara naluriah setiap kali menghadapi krisis kesadaran manusia akan kembali kepada sang hakim adil di atas, yaitu emas dan perak.

Kaum muslim sungguh beruntung, sebagaimana Ibnu Khaldun menyatakannya, bahwa Allah Subhanahu wa tala menciptakan emas dan perak ini dan mengajarkan kepada kita, melalui Rasul salallahu alaihi wassalam, sebagai alat tukar yang sah. Dinar dan Dirham telah dibakukan dan ditetapkan dalam syariat Islam sebagai alat tukar, alat bayar denda, alat menghitung dan membayar zakat mal, sebagai timbangan atas nilai, meskipun sempat hampir seabad lamanya kita lupakan dan abaikan.

Sampai saat ini telah sekitar satu dasawarsa Dinar emas dan Dirham perak kembali beredar, juga di Indonesia. Setiap hari jumlah koin dan pemakainya bertambah. Persebarannya juga semakin luas. Maka, dengan kehendak Allah Subhanahu wa tala, kembalinya sang hakim adil ini menjadi alat tukar universal, menjadi mata uang dunia, hanyalah soal waktu. Dulu pernah terjadi, dan kelak juga akan terjadi kembali.

Lihatlah pertanda lainnya, di luar telah kembali beredarnya Dinar emas, yang dipikirkan kalangan nonmuslim. Dalam merespon krisis dunia saat ini Russia dan Cina telah mengusulkan adanya 'supranational currency'. Dan dalam konteks ini tersebutlah seorang mantan wartawan bernama Alessandro Sassoli, yang mengusulkan agar uang dunia ini terbuat dari emas. Presiden Russia, Dmitry Medvedev, dalam pertemuan G-8, pertengahan Juli 09 lalu, memperlihatkan koin emas yang belum diberi nama tersebut, dan Medvedev telah mengatakan bahwa 'boleh jadi kita akan segera memiliki uang serupa ini.'

Dalam prototipe koin emas yang diusulkan Sassoli lewat Medvedev ini tertulis satuan '1', dan bukan angka nominal seperti uang kertas, dengan kata-kata 'unity in diversity' di satu sisi dan 'united future world currency' di sisi lain, dengan ornamen selembar daun bersisi lima. Koin ini dicetak oleh Royal Belgian Mint. Perancangnya dua orang, yaitu Luc Luycx, perancang sisi umum koin euro, dan Laura Cretara, mantan pekerja di Italian State Mint. Koin emas ini berdiameter 29 mm dengan berat 15.55 gram, emas murni (24 Karat).

Adakah kemiripan dengan Dinar emas? Tentu saja. Koin emas Sassoli ini dinilai berdasarkan timbangannya, nilai intrinsiknya, dan bukan nilai nominalnya. Dilihat dari standarnyapun sangat compatible dengan Dinar. Berat koin ini adalah 15.55 gram, atau 0.5 troy ounce, dengan kadar 24 Karat. Ini senilai dengan 4 koin Dinar (17 gram), dalam kadaar yang sekarang, emas 22 Karat. Dengan kata lain 1 Dinar sama dengan 1/4 'Koin Sassoli'. Dengan demikian keduanya akan dapat dipertukarkan secara paralel. Hukum pertukaran (dalam hal ini emas dengan emas) mensyaratkan kesetaraan dalam jumlah dan kadar, dan secara kontan.

Jelaslah, bila koin Sassoli ini benar-benar direalisasikan dan diterima secara internasional, misalnya benar Medvedev menindaklanjutinya secara resmi, secara otomatis itu berarti penerimaan secara universal Dinar emas. Tetapi sebaliknya, kalaupun ide Sassoli di atas tidak menjadi kenyataan, umat Islam telah berada di depan. Dan kita, atas bimbingan Shaykh Abdalqadir as-Sufi dan murid utamanya, Umar Ibrahim Vadillo, sejak satu dasawarsa lalu, telah mulai mewujudkannya.
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara

Baca Selengkapnya..

Minggu, 10 Mei 2009

PERCETAKAN UANG ERA KEJAYAAN ISLAM


Uang Koin di Era Dinasti Umayyah
(661 M - 750 M)

Diawal kekuasaannya, Dinasti Umayyah menggunakan koin perak sassanin (persia) diwilayah irak dan iran. Sedangkan, diSuriah dan Mesir, kekhalifahan Umayyah menggunakan koin emas dan tembaga berasal dari percetakan mata uang yang didirikan pada masa pemerintahan Khalifah Muawiyah bin abu Sufyan.
Kemudian, untuk menyatukan wilayah-wilayah yang dikuasainya, Khalifah Abdul Malik (687 M - 705 M) mulai mencetak koin emas pada tahun 691 M. Koin emas yang dicetak tersebut berbobot 4,4 gr dengan mencantumkan tulisan dinar. Dua tahun berikunya, pemerintahan Khalifah Abdul Malik kembali mencetak dinar yang bobotnya berubah menjadi 4,25gr karena mengikuti standar yang ditetapkan Khalifah Umar bin Khattab.
Pada tahun 75 H / 695 M, Khalifah Abdul Malik memerintahkan salah seorang gubernur yang berkuasa pada masa itu, hajjaj bin yusuf as-Saqafi, untuk mencetak uang koin perak atau dirham dan menggunakan standar yang ditetapkan di era Umar bin Khatab. Koin perak bertuliskan dirham itu berbobot 2.975gr dan berdiameter 25 - 28 mm.
Koin emas pada zaman itu dicetak secara khusus di Damaskus-ibukota kekhalifahan Umayyah. Sedangkan koin perak dan tembaga dicetak dikota-kota yang dikuasai oleh Dinasti Umayyah. Setiap koin yang dicetak pada saat itu bertuliskan kalimat tauhid, yaitu Allahu ahad, Allahu samad. Sejak saat itu, dilakukan penghentian penggunaan gambar wujud manusia dan binatang dari mata uang peradaban islam itu. sebagai gantinya, digunakan huruf-huruf.
Dinar dan Dirham lazimnya berbentuk bundar. Selain itu, tulisan yang dicetak pada dua sisi koin emas dan perak itu memiliki tata letak yang melingkar. Pada satu sisi koin tercantum kalimat tahlil dan tahmid, yaitu La illaha illa Allah dan Alhamdulillah. Sedangkan disisi lainnya, tertera nama penguasa (amir) dan tanggal dicetak. Selain itu, terdapat suatu kelaziman untuk menuliskan shalawat kepada Rasulullah SAW dan Ayat-ayat Alqurandalam koin dirham dan dinar itu.
Pada era Khalifah selanjutnya, Dinasti Umayyah mencetak dinar yang bernilai setengah dan sepertiga dinar, ukuran dan beratnya jauh lebih kecil dan ringan dengan uang koin bernilai satu dinar. Setelah menguasai wilayah Afrika Utara dan Spanyol, penguasa Umayyah mulai membangun percetakan uang koin diprovinsi itu. Khalifah pun bertanggung jawab untuk memastikan kemurnian dan berat koin yang dicetak.

KOIN KEKHALIFAHAN ABBASIYAH

(750 M - 1258 M)

Ketika kekuasaan kekhalifahan umayyah jatuh, percetakan koin di Damaskus pun ditutup. Di era awal kekuasaannya, Dinasti Abbasiyah mulai mencetak koin di Kufah-ibukota pertama kekhalifahan abbasiyah. Pada masa pemerintahan Khalifah al-Mansur, kota baghdad mulai dibangun. Disana khalifah al-Mansur mendirikan percetakan dirham. Kemudian, ketika Khalifah Harun ar-Rasyid naik tahta, ia memindahkan percetakan uang dari kufah ke Fustat, kota tua di Kairo. Sedangkan, percetakan dirham yang telah dibangun diatas Baghdad tetap dipertahankan. Pada masa itu, koin emas mulai dicetak. Koin emas itu dicetak atas nama Gubernur Mesir. Percetakan koin di Mesir ini terbilang produktif. Setiap cetakan koin dari provinsi itu selalu mengatasnamakan Gubernur yang didedikasikan bagi khalifah.
Khalifah Al-Ma’mun (813 M) yang mengantikan Harun ar-Rasyid mulai mencetak beragam jenis koin. Dengan cita rasa artistik yang tinggi, al-Ma’mun memperbaiki tampilan koin. Sehingga koi yang dicetak tampak lebih indah. Apalagi, tulisan yang tertera pada koin menggunakan tulisan indah khas Kufah atau Kufi.

KOIN ANDALUSIA
(711 M - 1494 M)

Berbeda dengan wilayah Arab lainnya yang ditaklukkan Islam yang menggunakan koin penguasa sebelumnya, penguasa Islam mencetak khusus koin emas yang baru ketika menguasai Spanyol pada 711 M. Tulisan yang tercantum dala koin itu adalah huruf Latin. Dinar khas Andalusia itu dicetak secara langsung dikota itu. pada tahun 720 M, Koin Arab asli pertama kali masuk kewilayah itu. gaya dan tulisan yang tercantum dalam koin itu menandakan bahwa dinar itu berasal Afrika Utara yang dicetak setahun sebelumnya. Muslim andalusia juga mulai memakai koin yang bernilai setengah dinar yang dicetak di Damaskus pada 719 M. Koin emas terakhir yang dicetak di Andalusia di cetak pada era Nasrid Granada (1238 M-1492 M).

Kekhalifahan Fatimiyah
(909 M-1171 M)

Tiga khalifah pertama dari kekhalifahan Fatimiyah yang berkuasa di tiga ibu kota berbeda, yakni Quayrawan, Al-Mahdiya, dan Sabra-Mansuriyah, mencetak koin emas dan perak sesuai dengan kebiasaan ortodok Sunni. Pada tahap awal, dinar yang dicetak di Al-Mahdiyah mengikuti model dan ukuran lebih besar serta desain yang digunakan Dinasti Aghlabid. Pada tahun 912 M, dinasti itu mulai mencetak dinar yang ringan dan berukuran lebih besar dengan menggunakan tulisan indah Kufi.
Pada tahun 922 M, percetakan uang dipindahkan ke Al-Mahdiyah dan lalu ke Al-Mansuriyah. Khalifah Al-Qasim pada tahun 934 M mulai mengganti desain dan mulai mengadopsi tulisan indah Kufi. Koin yang bernilai seperempat dinar juga dicetak di dinasti itu dari wilayah kekuasaannya di Sicilia. Ciri Khas koin Fatimiyah yang beraliran syiah adalah pernyataan yang mengungkapkan pertalian dengan Ali bin Abi Thalib.

Sumber : Harian Umum Republika, ahad, 26 April 2009 Baca Selengkapnya..

KEUNGGULAN DINAR EMAS

Selain mata uang kertas yang dikenal saat ini, sejumlah komoditas, seperti emas, perak, beras gandum dan terigu bisa juga dipakai sebagai alat tukar sepanjang diterima oleh masyarakat.
Namun, dari sekian banyak macam alat tukar, emas dan perak memiliki banyak keunggulan dibandingkan alat tukar lainnya. Kepala Departemen Bisnis Administrasi dan Manajemen Internasional Islamic University Malaysia, Ahamed Kameel Mydin Meera, dalam bukunya yang berjudul The Islamic Gold Dinar setidaknya menyebutkan bahwa ada tujuh dampak positif dengan menggunakan mata uang dinar emas.
Ketujuh dampak positif tersebut adalah sebagai berikut :
• Membuat sistem moneter dan keuangan suatu negara lebih stabil.
• Nilai tukarnya tidak pernah jatuh secara drastis.
• Karena terbuat dari emas, bisa mengurangi kemungkinan terjadinya spekulasi dan manipulasi terhadap nilai tukarnya.
• Mengurangi tingkat resiko dalam berbisnis
• Memperluas promosi perdagangan antar negara
• Menciptakan harmonisasi antara sektor riil dan sektor keuangan\mengatasi berbagai macam persoalan sosial, seperti kemiskinan, kesehatan, dan ketimpangan distribusi pendapatan.
• Menjadi alat proteksi suatu negara dari dominasi ekonomi dan kebudayaan negara lain. Baca Selengkapnya..

Senin, 27 April 2009

Satu Keluarga, Satu Dinar

Akhir pekan lalu, menjelang berakhirnya bulan April 09, terbetik berita bahwa Republik Rakyat Cina (RRC) telah menambah cadangan emasnya, hingga mencapai 1.054 ton. Padahal sebelumnya cadangan emas Cina "cuma" 600 ton. Jadi, penambahannya lebih dari 450 ton, atau sekitar 75% dari cadangan semula. Tapi, siapakah yang paling tamak di dunia ini?


Amerika Serikat (AS) dengan cadangan emas sebesar 8.133.5 ton ada pada posisi nomor wahid, disusul oleh Jerman dengan cadangan 3.412.6 ton. Di posisi ketiga, bertengger International Monetary Fund (IMF), dengan timbunan emas seberat 3.217.3 ton. Pada posisi keempat dan kelima adalah Perancis dan Italia, dengan cadangan emasnya masing-masing 2.508.8 dan 2.451.8 ton. Sedangkan jumlah total emas yang telah ada di permukaan bumi ini, pada 2001, diperkirakan telah mencapai 145 ribu ton.

Dengan total cadangan emas sebanyak ini bukan saja membuat Cina berada pada posisi enam besar penimbun emas dunia, tetapi juga akan mengubah konstelasi ekonomi dunia. Bank Sentral Eropa (BSE), misalnya, hanya memiliki cadangan emas sebesar 533.6 ton. Cina kini memiliki emas hampir dua kali lipat BSE. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Cina menyadari betul betapa sumber kekuatan ekonomi ada pada jumlah emas yang dikuasainya.

Lantas di mana posisi Indonesia?

Dengan hanya memiliki sekitar 73.1 ton emas, jumlah yang bahkan di bawah rata-rata tambahan cadangan Cina, yang mencapai 90 ton/tahun, Indonesia ada di urutan ke-37. Padahal, negeri ini memiliki sumber cadangan emas yang cukup besar, bahkan salah satu deposit emas terbesar di dunia, yakni Grassberg, ada di negeri ini, di Papua Barat. Lalu kemana emas kita? Kemungkinan terbesarnya mudah kita duga: diekspor ke luar negeri. Dengan demikian emas kita justru mengisi kocek negara-negara dan lembaga lain tersebut di atas. Tetapi, siapakah yang menguasai emas-emas tersebut, betulkah negara?

Tabel 1. Daftar Beberapa Negara dan Cadangan Emasnya (Wikipedia, 2009)
Negara/Lembaga Cadangan Emas (ton)
AS 8.133.5
Jerman 3.412.6
IMF 3.217.3
Perancis 2.508.8
Italia 2.451.8
RRC 1.054.0
Indonesia 73.1

Dengan pengamatan sedikit lebih teliti saja kita akan temukan bahwa mayoritas emas itu dimiliki dan ditimbun oleh bank-bank sentral atau lembaga-lembaga keuangan swasta lainnya, seperti IMF. Artinya oleh perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh beberapa gelintir bankir. Memang, tak banyak masyarakat yang menyadari, bahwa bank-bank sentral bukanlah milik pemerintah, melainkan perusahaan-perusahaan swasta. Mayoritas saham Federal Reserve of America (Bank Sentral AS), untuk sekadar sebagai contoh, dimiliki oleh Citibank (15%) dan Chase Manhattan Bank 14%). Sisanya dibagi oleh 25 bank komersial lainnya, antara lain Chemical Bank (8%), Morgan Guaranty Trust (9%), Manufacturers Hannover (7%),dan beberapa perusahaan lainnya.

Sistem riba yang berlangsung saat ini memang menjamin bahwa cadangan emas berada di tangan segelintir orang. Karena itu, kembalinya dinar emas dan dirham perak, sebagai awal kembalinya muamalat merupakan sarana tepat untuk mengembalikan emas ke tangan masyarakat umum. Dari sekoin demi sekoin dinar emas yang ada dalam genggaman masyarakat, akan berpindahlah penguasaan emas ini dari kocek para bankir ke kantong-kantong masyarakat. Hingga, ketika jumlah emas yang ada di tangan masyarakat sudah cukup memadai, perekonomian tak mudah lagi diguncang-guncang. Pemiskinan yang berlangsung terus-menerus melalui inflasi maupun secara tiba-tiba melalui "krisis moneter" tak dapat lagi terjadi.

Di sinilah misi utama jaringan wakala yang ada di pelosok-pelosok negeri Indonesia, sebagaimana dikordinir oleh Wakala Induk Nusantara (WIN), yakni menggerakkan koin-koin dinar hingga emas berpindah dari penguasaan segelintir orang ke seluruh masyarakat, dan pada gilirannya berpindah dari tangan ke tangan melalui perdagangan. Dalam konteks ini pula mungkin ada baiknya kita melongok yang terjadi di Negeri Kelantan, Malaysia, tempat dikampanyekannya Gerakan Satu Keluarga Satu Dinar.

Dengan penduduk sekitar 240 juta orang, dengan asumsi ada 5 orang dalam satu keluarga, di Indonesia ada 48 juta keluarga. Dan dengan setiap keluarga memiliki satu dinar emas, maka akan ada 48 juta x 4.25 gram atau 204 juta gram (204 ribu ton) emas di tangan masyarakat sendiri. Melalui perdagangan, baik barang dan jasa, 48 juta dinar ini pun akan berpindah dari tangan ke tangan, sebagai sarana memeratakan kemakmuran. Melalui perdagangan barang dan jasa maka keluarga buruh-buruh pabrik dan pedagang kaki lima pun dapat memiliki dinar emas. Instrumen kedua berpindanya emas dan perak dari tangan (orang kaya) ke tangan (orang fakir miskin) adalah melalui zakat mal. Setiap tahun seharusnya ada 2.5% dari keseluruhan kekayaan Muslim kaya di Indonesia ini yang berpindah ke kaum papa.

Saat ini, pengenalan dinar dan dirham di Indonesia, harus diakui masih sangat terbatas. Karena itu sosialisasi dan pengenalan melalui kampanye masif, yang didukung oleh berbagai pihak, sangat diperlukan.
penulis : Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara Baca Selengkapnya..

Selasa, 21 April 2009

Syok Terapi Spekulan Emas

Dalam beberapa pekan terakhir ini terjadi fluktuasi harga emas dan valuta asing yang cukup bergejolak akibat ulah spekulan.

Hal ini ternyata cukup membuat was-was para pemula pengguna koin dinar emas dan dirham perak. Bagaimana tidak cemas, pemakai dinar atau calon wakala yang baru saja membeli dinar emas pertama mereka (akhir Maret s.d. awal April 2009), dengan nilai tukar yang saat itu cukup tinggi, seharga sekitar Rp 1.5 juta, harus mendapati kenyataan bahwa harga dinar saat tulisan ini dibuat (20 April 2009), adalah Rp 1.359.107. Artinya dalam kurun sekitar sebulan ini nilai tukar dinar telah merosot sebesar Rp 140.000/dinar setara 9.3%. Padahal rata-rata apresiasi dinar selama ini adalah 25%/tahun.

Penurunan nilai tukar dinar di atas jelas terkait langsung dengan penurunan harga emas dunia. Harga emas belakangan ini memang merosot tajam dari kisaran USD 900-an menjadi kurang dari 878 per troy ounce. Di sisi lain, dolar saat ini, justru mulai membanjiri dunia. Ada apa ini? Jawabnya: ini adalah syok terapi spekulan emas. Tetapi bagi wakala dan pengguna dinar yang sudah lebih dulu bergelut dengan dinar emas, akan menganggap hal ini sebagai gejala yang sudah biasa saja. Toh, kita bias mengantisipasinya, sampai di mana para spekulan mampu membuat harga emas begitu murah? Setelah murah maka, seperti yang terjadi di masa lampau, harga emas akan kembali melonjak tajam (naik tinggi). Satu hal yang perlu dipahami bersama adalah bahwa aksi spekulasi ini, yang akan membuat nilai tukar dinar emas bergejolak, akan terus berlangsung hinga dinar-dirham benar-benar tersebar luas, dan kembali kepada fungsinya semula, yakni sebagai alat tukar. Ketika jumlah koin dinar sudah begitu banyak ada di tangan masyarakat para spekulan tak lagi bisa menentukan "harganya" secara sepihak. Kita semualah, para pemegang koin emas dan perak, artinya mekanisme pasar, yang akan menentukan nilai tukar tersebut.

Adapun berdiri dan beroperasinya wakala adalah sebagai jembatan penghubung distribusi dinar-dirham, tempat pembelajaran muamalah syar'i, dan kontrol pertama keaslian koin dinar-dirham. Juga beberapa fungsi lain yang bersifat teknis, misalnya menerima titipan dinar-dirham, pengirimannya dari satu kota ke kota lain, dan sebagainya. Dan, lebih dari semua itu, inti dari gerakan kembali kepada dinar dan dirham ini adalah mengajak peran serta masyarakat untuk taat kepada Allah Ta'ala, Rasulullah, sallahualayhi wa salam, serta Amirul Mukminin atau Amir-Amir yang haq, sesuai dengan tuntunan dalam Al Qur'an dan sunnah, serta 'amal.

Dalam pandangan kebanyakan dari kita, yang memang masih kuat diliputi mitos uang kertas, harga emas dan perak itu seakan-akan naik turun setiap hari. Padahal harga emas dan perak itu tetap dan stabil. Tetapi konspirasi internasional yang terdiri dari para bankir, pemilik saham multinasional, dan para Islamophobia, yang bekerja keras untuk memutar balikkan kenyataan. Uang kertas (fiat money) yang nota bene tanpa jaminan apapun, tidak memiliki nilai apa pun kecuali selembar kertas, bergerak liar mengikuti para pemain valas, berfluktuasi setiap menit dalam 24 jam sehari! Tanpa hari libur!

Tapi karena pemerintahan di seluruh dunia saat ini terjajah oleh sistem Dajjal, dan ngotot memaksa penduduk menerima uang kertas sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah, maka kita berhalusinasi bahwa emas-peraklah yang berfluktuasi. Padahal dalam kaidah ilmu mata uang (Numismatik), yang disebut Uang Kartal (uang tunai) adalah koin emas dan koin perak. Sedangkan uang kertas sendiri digolongkan dalam koleksi Notaphili, sekelas dengan Filateli (Prangko). Artinya uang kertas dan prangko hanya berharga sesaat saja, hingga masa berlakunya habis, kadaluarsa seperti makanan dalam kemasan.

Sementara emas dan perak, karena nilai intrinsiknya, dan penerimaannya secara universal oleh umat manusia di dunia ini, memiliki nilai yang tetap. Secara empiris selalu terbukti koin emas dan koin perak tak mengalami inflasi. Sejak zaman Rasulullah sallahualayhi wa salam sampai detik ini satu koin dinar setara 1-2 ekor kambing, 1 koin dirham setara 1 ekor ayam. Karena itu, ketika nilai tukar dinar dan dirham justru "turun" dan "murah" seperti saat ini, inilah waktunya untuk semakin benyak menukarkan uang-uang kertas kita, menjadi koin-koin emas atau perak. Kalaupun diperlukan, belanjakanlah koin dinar atau dirham Anda sebagai alat tukar dengan barang atau jasa sesuai kebutuhan, dan tak perlu ditukarkan kembali menjadi uang kertas.
Catatan:
Numismatik : Ilmu tentang Koleksi Mata Uang Koin
Notaphili : Koleksi Uang Kertas dan Surat Berharga
Filateli : Koleksi Prangko, leges dan surat biasa

Penulis : Sufyan al Jawi - Numismatik Indonesia Baca Selengkapnya..

Minggu, 19 April 2009

Penetapan Standar Dinar Dirham

Secara historis pemakaian koin emas dan koin perak sebagai alat tukar telah berlangsung sebelum Islam datang, termasuk di Jazirah Arab tentu saja. Sebutan dinar, misalnya, berasal dari koin Rumawi, denarius, sedangkan dirham berasal dari koin Persia, drachma.

Oleh sebagian orang kenyataan sejarah ini lalu dipahami sebagai kenyataan bahwa Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, tidak menetapkan suatu ketentuan baru tentang dinar dan dirham, tetapi sekadar meneruskannya (men-taqrir-nya). Bahkan, lebih dari itu, ada pula yang menjadikannya sebagai argumen bahwa Islam tidak mengharuskan mata uangnya terbuat dari emas atau perak.

Memang benar, dari berbagai riwayat, kita tahu Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, menyebutkan sejumlah komoditi yang bisa dipakai sebagai alat tukar, yaitu emas, perak, terigu, syai�r (sejenis jewawut), kurma dan garam. Pengertian paling pokok dari contoh-contoh ini adalah bahwa alat tukar haruslah terbuat dari komoditi yang lazim dipakai sebagai alat tukar. Artinya, dalam keadaan tidak ada atau kekurangan emas atau perak, maka komoditi lainnya, sepanjang lazim diterima sebagai alat tukar, dapat dapat ditakar atau ditimbang secara baku, dapat diberlakukan sebagai mata uang. Di Indonesia, misalnya, beras dapat digunakan sebagai alat tukar yang valid. Juga, berbeda dengan uang kertas, suatu alat tukar tidak boleh dipaksakan penerimaan dan pemakaiannya. Penerbitan mata uang juga tidak boleh dimonopoli oleh satu pihak, seperti saat ini berlangsung, di tangan bank-bank sentral.

Kenyataannya, dalam perjalanan kehidupan manusia yang sudah begitu panjang, komoditi terbaik yang lazim dipakai sebagai alat tukar adalah emas dan perak, yang sampai pada awal kehadiran Islam, banyak berasal dari Rumawi (dinarius) dan Persia (drachma). Tetapi, koin Romawi dan koin Persia tersebut bukanlah koin emas dan perak yang seragam yang beredar di Jazirah Arab ketika itu. Ukurannya pun ada beberapa macam. Baru sesudah ditetapkan ukuran-ukuran dan takarannya oleh Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, koin dinar dan dirham di Madinah memiliki kebakuan.

Sofyan Al Jawi, seorang ahli numismatik Indonesia yang saat ini juga mengoperasikan salah satu wakala di Jakarta (Wakala Al Faqi, Cilincing), menjelaskan bahwa penetapan ketentuan tentang standar dinar dan dirham itu dilakukan oleh Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, pada tahun ke-2 Hijriah, bermula dari adanya sebuah sengketa di pasar. Ketika Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, tiba di Madinah penduduknya biasa menggunakan dirham perak dengan cara hitungan bilangan, sementara pendatang dari Mekah terbiasa menggunakannya dalam hitungan timbangan. Maka, terjadilah sengketa, antara Aisyah (seorang muhajirin) dan Burairah (seorang nshar).

Dalam suatu riwayat disebutkan adanya tiga dirham yang berbeda kadarnya ketika itu, yaitu dirham besar 20 qirat, dirham sedang 12 qirat, dan dirham kecil 10 qirat. Atas sengketa di atas, Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, memberikan petunjuknya, agar koin-koin dirham itu dihitung bukan dengan cara membilangnya tetapi menimbangnya. Dari hadits yang diriwayatkan oleh Thawus dari Ibnu Umar, dari perkataan Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, ��Timbangan (wazan) adalah timbangannya penduduk Mekkah, dan takaran (mikyal) adalah takarannya penduduk Madinah.� (HR. Abu Daud dan Nasai), kita mendapatkan pembakuan dinar dan dirham.

Cara Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, menetapkan standar adalah dengan menghitung rata-rata berat dirham yang ada, yaitu: 2 0+10 +12 = 42 qirat yang kemudian dibagi tiga, menghasilkan 14 qirat. Jadi, timbangan dirham menurut syar�it adalah seberat 14 qirat. Sedangkan perbandingannya dengan koin dinar (1 mitsqal) ditetapkan menjadi 14/20 mitsqal, karena 1 mitsqal sama dengan 20 qirat. Maka satuan dirham adalah seberat 7/10 mitsqal atau 2,975 gram dengan kadar koin perak Sasanid (perak murni). Koin dinar yang ditetapkan adalah seberat 1 mitsqal. Jadi, tiap-tiap 7 dinar setara dengan 10 dirham, dalam timbangannya. Kita mendapatinya 1 dinar adalah 4.25 gr emas, dengan kelipatannya untuk satuan yang lebih besar (2 dinar dan seterusnya) atau lebih kecil (0.5 dinar).

Dengan mengacu kepada ketetapan nilai yang telah dibakukan itulah Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, kemudian menetapkan ketentuan-ketentuan syariat lainnya yang berkaitan dengannya. Ketetapan terpenting, tentu saja, adalah nisab zakat, yang ditentukan sebesar 20 dinar emas dan 200 dirham perak. Demikian juga ketentuan tentang hudud (seperti batas hukum potong tangan, 0.25 dinar emas) atau diyat (1000 dinar). Dari sini mengikuti hukum-hukum muamalat lain seperti qirad dan syirkat hanya sah bila dilakukan dengan dinar emas atau dirham perak.

Jadi, jelas sekali, bahwa tanpa dinar emas dan dirham perak syariat Islam tak dapat ditegakkan, karena keduanya bertalian langsung dengan begitu banyak ketentuan syariat Islam. Meskipun, sampai Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, wafat, dinar emas dan dirham perak yang beredar masih berasal dari Rumawi dan Persia. Dirham perak dan dinar emas pertama yang dicetak sendiri oleh para pemimpin Muslim bertahun 694-695 M atau 74-75 H, di zaman Khalifah Abdalmalik, lebih dari setengah abad sesudah Rasulullah wafat.
penulis : Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara Baca Selengkapnya..

Selasa, 17 Maret 2009

BPIH Turun (Lagi) 12% - Tahun 2020 Tinggal 9.9 Dinar

Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa persoalan sesungguhnya bukan terletak pada biaya penyelenggaraan haji itu sendiri, sebagaimana dengan biaya untuk kegiatan apa pun, melainkan pada mata uang yang digunakannya. Pembiayaan BPIH, juga untuk biaya keperluan apa pun lainnya, bila dilakukan dengan mata uang dinar emas, tidak akan pernah mengalami perubahan. Dinar emas selalu membuktikan dirinya sebagai mata uang dengan inflasi 0%

Walau belum jadi keputusan resmi, ancar-ancar Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2008 telah disampaikan oleh Menteri Agama Maftuh Basyuni dalam rapat kerja dengan, dan disetujui oleh, Komisi VIII DPR, 2 April lalu. Dibandingkan dengan BPIH tahun lalu BPIH 2008 rata-rata naik 500.86 dolar AS atau Rp 4,6 juta. harian Republika (Avtur Dongkrak Biaya Haji, Kamis, 3 April 08, hal. 1) juga menyajikan tabel BPIH tahun 2005-2008, lengkap untuk tiga zonasi. Pengumuman ini membuktikan bahwa kenaikan biaya haji selalu rutin terjadi setiap tahunnya, baik dalam mata uang rupiah maupun dolar AS. Jelas bahwa beban calon jemaah haji semakin berat, dan upaya menabung yang umumnya harus kita lakukan pun, semakin berat pula.

Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa persoalan sesungguhnya bukan terletak pada biaya penyelenggaraan haji itu sendiri, sebagaimana dengan biaya untuk kegiatan apa pun, melainkan pada mata uang yang digunakannya. Pembiayaan BPIH, juga untuk biaya keperluan apa pun lainnya, bila dilakukan dengan mata uang dinar emas, tidak akan pernah mengalami perubahan. Dinar emas selalu membuktikan dirinya sebagai mata uang dengan inflasi 0%. Perhatikanlah perbandingan perkembangan BPIH dalam tiga mata uang berbeda, yaitu rupiah, dolar AS, dan dinar emas, yang diolah dari tabel di HU Republika tersebut di atas. Untuk menyederhanakan data yang disajikan di sini hanyalah untuk BPIH dalam satu zonasi, yakni Zona II (Jakarta, Surabaya dan Solo), yang berada di zona tengah.

Tabel 1 di bawah ini menyajikan data BPIH (2005-2008) tersebut yang menunjukkan, bila dihitung dengan flat, ongkos naik haji dalam rupiah selalu mengalami kenaikan rata-rata 9% dan dalam dolar AS rata-rata naik 6.25% setiap tahunnya. Berkebalikan halnya bila biaya haji didenominasikan dengan dinar emas. Dari tabel yang sama terlihat bahwa BPIH dalam empat tahun terakhir ini, dalam denominasi dinar emas, secara flat turun rata-rata 10.25%. Jadi, ongkos naik haji, dari tahun ke tahun, menjadi semakin murah.

Dalam angka absolutnya BPIH 2005 dalam dinar emas adalah 46 dinar, turun menjadi 34 dinar (2006), turun lagi menjadi 31 dinar (2007), dan turun lagi menjadi 27 dinar untuk 2008 ini. Tingkat penurunannya berturut-turut adalah 26%, 8%, dan 12%. Perbedaan biaya dalam rantang empat tahun, antara 2005 dan 2008, menunjukkan penurunan BPIH dalam dinar sebesar 41% (dari 46 dinar/2005 ke 27 dinar/2008)! Sementara dalam rupiah justru naik 36% (dari Rp 23.2 juta ke Rp 31.6 juta), dan dalam dolar AS naik 25% (dari 2.730 dolar AS ke 3.430 dolar AS).

Proyeksi ke Depan
Dengan pengalaman empiris di masa lalu di atas maka kita dapat membuat suatu proyeksi ke depan. Untuk meningkatkan keakuratan dan ketepatan proyeksi kita data empiris BPIH di masa lalu yang digunakan di sini diperpanjang, tidak hanya terbatas sampai pada tahun 2005, tapi sampai tahun 2000. Proyeksinya sendiri akan dilakukan untuk masa dua belas tahun ke depan, untuk rentang waktu 2008-2020. Perhitungan tetap dilakukan dalam tiga jenis mata uang yaitu rupiah, dolar AS dan dinar emas, sekaligus untuk membandingkan ketiganya.

Kita awali proyeksi kita dengan berpatokan pada BPIH 2008 (Zona II saja) sebagaimana yang telah disepakati oleh Menteri Agama RI dan Komisi VIII DPR tersebut di atas, yaitu 3.429.6 dolar AS, tanpa memperhitungkan biaya tambahan untuk komponen domestik (dengan nilai Rp 501 ribu). Dengan kurs saat ini, ambillah Rp 9.200/dolar AS, maka dalam rupiah BPIH 2008 adalah Rp 31.552.320. Dalam dinar emas, dengan kurs saat ini 127 dolar AS/dinar, BPIH 2008 sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, hanya 27 dinar emas. Sebagai patokan empiris ke belakang kita ambil data tahun 2000, yaitu dengan BPIH dalam rupiah sebesar Rp 22.799.635, dalam dolar AS sebesar 2.682 dolar, dan dalam dinar emas sebesar 71 dinar. Dengan perhitungan flat kenaikan tahunan rata-rata BPIH dalam rupiah (dalam rentang 8 tahun terakhir, 2000-2008 ini) adalah 5%, dalam dolar AS 3.5%, dan dalam dinar emas adalah � (minus) 8%.

Dengan menggunakan data-data ini maka secara lengkap kita dapatkan proyeksi BPIH ke depan sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 2. Kita ambil saja tiga titik waktu di depan, yakni tahun 2010, 2015, dan 2020. Dalam rupiah kita akan dapatkan angka-angka BPIH sebesar Rp 34.8 juta (2010), Rp 44.4 juta (2015), dan akan menjadi Rp 56.7 juta (2020). Dalam dolar AS kita peroleh BPIH sebesar 3.639 dolar (2010), lalu 4.218 dolar (2015), dan akan menjadi 4.890 dolar (2020). Keduanya terus naik, meski dengan slope berbeda. Dalam dinar, sebaliknya, kita akan peroleh BPIH yang terus-menerus semakin murah secara signifikan, yakni 22.9 dinar (2010), lalu jadi 15.1 dinar (2015), dan turun lagi menjadi hanya 9.9 dinar (2020).

Penting untuk dimengerti proyeksi di atas diperoleh dengan asumsi keadaan adalah �normal�, dan dengan data yang sangat konservatif. Tetapi, sebagaimana saat ini kita dengar dari para pemegang otoritas moneter internasional, termasuk IMF, Bank Dunia, dan Federal Reserve AS, situasi ekonomi dunia semakin dibayangi oleh krisis besar. Keadaan empiris sejak Oktober 2007 lampau, yang dimulai dengan krisis kredit perumahan di AS, lalu gejolak harga minyak dan pangan dunia, disusul dengan gonjang-ganjingnya pasar saham, membuat mereka mengatisipasi kemungkinan terburuk. Sebaliknya dengan dinar emas, marilah kita songsong kemungkinan terbaiknya.

Ini bukti awalnya: September 2007 kurs dinar adalah Rp 880.000/dinar, saat ini sekitar Rp 1.200.000/dinar. Dinar emas telah menguat 34% dalam kurun 6 bulan terakhir, dan 200% dalam 8 tahun terakhir (kurs dinar tahun 2000 adalah Rp 400 ribu). Jadi, secara riel BPIH 2008 (Rp 31.6 juta) ini pun sesungguhnya hanya setara dengan nilai Rp 10.8 juta tahun 2000. Allahu Alim.
Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
www.wakalanusantara.com Baca Selengkapnya..