Keterpurukan rupiah terhadap dolar AS mendorong sebagian masyarakat kita melirik mata uang dinar dan dirham. Hal yang dapat dipahami. Sebab melemahnya rupiah bukan hanya mendestabilkan masalah ekonomi makro dan mikro, tapi membuat masyarakat dari berbagai lapisan harus menelan pil pahit akibat devaluasi rupiah. Harga berbagai jenis barang dan jasa naik antara 2,5 hingga 30 persen.
Lalu, apakah penggunaan mata uang dinar yang berbahan utama emas 22 karat dan dirham yang berbahan utama perak dapat menyelamatkan destruksi rupiah? Secara empirik, dinar dan dirham belum pernah menyulitkan negara dan bangsa yang menggunakannya. Dan secara teoritik --hal ini yang jauh lebih menarik-- dinar dan dirham terbebas dari tindakan spekulatif dan inflasi, bahkan tindakan pemalsuan.
Dinar dan dirham tak bisa dimainkan sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan. Celah memperdagangkannya memang masih ada. Tapi ketiadaan margin dari transaksinya membuat ketidakmauan para spekulan di manapun. Inilah makna utama mendasar keseimbangan nilai intrinsik dengan nilai nominal pada dinar dan dirham.
Layak dilirik
Mencermati keunggulannya, dinar dan dirham layak kita lirik lebih jauh untuk digunakan sebagai alat transaksi dan sebagai penambah mata uang yang berlaku seperti halnya Saudi Arabia yang tetap memberlakukan real, di samping dinar dan dirham. Sebuah renungan yang perlu dijawab, bagaimana prospek persebaran dinar dan dirham? Ada dua variabel yang perlu kita sorot. Variabel pertama, cukup memberi harapan konstruktif. Dalam perspektif kepentingan nasional Indonesia, dinar dan dirham punya prospek yang cukup cerah. Dilandasi jumlah populasi masyarakat Muslim dan pengalaman pahit devaluasi rupiah terhadap dolar yang merusak sendi ekonomi makro dan mikro, maka kecil kemungkinan terjadi penolakan.
Dalam perspektif regional, baik wilayah Asia Tenggara atau Timur Tengah, kita saksikan jumlah populasi yang lebih fantastik. Bagaimanapun, jumlah 755.366.031 jiwa untuk seluruh penduduk Timur Tengah adalah angka yang sangat gemuk, menjanjikan, dan prospektif jika digarap serius. Tingkat permintaan dinar dan/atau dirham akan jauh lebih ''hiperbolik'' jika dikaitkan dengan kegiatan perdagangan luar negerinya (ekspor-impor). Menurut data Islamic Development Bank (IDB), sekadar data pendukung sampai menjelang tahun 2000-an saja, volume ekspor seluruh negara-negara Islam anggota IDB mencapai 377,9 miliar dolar AS, sedangkan impornya mencapai 382,2 miliar dolar AS.
Mata uang tunggal
Satu hal yang cukup menarik dicatat, pendayagunaan dinar dan dirham secara fantastik praktis akan mengurangi ketergantungan tunggal terhadap dolar AS. Makna reflektifnya adalah akan semakin kecilnya kemungkinan negara-negara pengguna dinar dan dirham setiap saat digoyang produsen dolar AS, juga para fund manager --yang sejauh ini terus malakukan spekulasi secara destruktif untuk kepentingannya sendiri.
Kian mengecilnya ketergantungan terhadap dolar AS --dengan demikian-- akan berkorelasi konstruktif terhadap upaya stabilisasi ekonomi makro dan mikro. Inilah spirit perlindungan kebangsaaan terhadap kepentingan nasional yang seharusnya menjadi warna baru nasionalisme saat ini.
Jika kita tengok ke belahan lain (negara-negara Eropa), tampaknya spirit menjaga stabilitas ekonomi makro itulah yang akhirnya menyepakati mata uang euro. Euro adalah jawaban konstruktif atas ketergantungan tunggal terhadap dolar AS. Kita perlu mencatat, meski dolar masih berlaku sebagai salah satu alat transaksi di belahan Eropa, tapi munculnya euro mampu mengurangi secara signifikan kedigdayaan dolar.
Eropa mampu memberlakukan euro. Mampukah negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim memberlakukan dinar atau dirham? Sikap politik ini sebagai variabel kedua tidak mudah. AS sebagai produsen dolar akan merasa terlecehkan citra nasionalnya jika negara-negara Islam bergerak merapatkan barisan demi kesatuan mata uang.
Jika sang adidaya AS tersinggung, ia tak akan diam. Ia akan mengabaikan hak demokrasi masing-masing negara --termasuk dalam hal penggunaan mata uangnya-- dengan menggencarkan sejumlah rekayasa destruktif. Salah satunya --atas nama kelestarian lingkungan dan sejumlah dalih taktis lainnya-- AS akan memberlakukan sejumlah prosedur yang akan mempersulit kepentingan para eksportir asal negara-negara bermata uang dinar-dirham baru.
Mencermati reaksi AS ini, sebuah pertanyaan yang harus dijawab adalah mampukah negara-negara yang siap memberlakukan dinar-dirham ini mengurangi ketergantungan tunggal ekspornya ke AS? Secara objektif, tantangan itu tidak mudah dijawab karena sudah menikmati sekian lama manisnya ekspor ke belahan AS. Dan bagi negara-negara Islam itu sendiri pun --sangat boleh jadi-- tak rela memutuskan hubungan ekspor ke AS.
Sekadar data, komunikasi bisnis mereka ke negara-negara industri termasuk ke AS mencapai 210,7 miliar dolar AS. Angka yang fantastik ini --secara bisnis ataupun psikologis-- akan membuat dirinya terus terjerat dan sulit keluar dari ketergantungannya. Namun demikian --sebagai refleksi kuatnya nasionalisme dalam arti luas-- para kepala pemerintahan dari negara-negara Islam ataupun para pebisninya perlu mencari pasar baru, misalnya di belahan Eropa sebagai alternatif negara tujuan ekspor.
Jika perlu, antarnegara Islam itu sendiri menciptakan ikatan hubungan ekspor-impor. Barangkali, sudah saatnya, negara-negara Islam membangun ''Pasar Bersama Dunia Islam'' di mana masing-masing dipersilakan mengeksplorasi keberadaan pasar bersama itu secara konstruktif. Hingga menjelang tahun 2000-an, hubungan bisnis antarnegara Islam --boleh jadi karena belum ada Pasar Bersama Dunia Islam-- hanya tercatat 35,9 miliar dolar AS (ekspor) dan hanya 39,4 miliar dolar AS (impor). Sebuah catatan yang cukup memprihatinkan dalam konteks kerja sama ekonomi dan bisnis antarnegara Islam.
Kita berasumsi, pengalihan tujuan ekspor berhasil diwujudkan. Atau -setidaknya-- Pasar Bersama Dunia Islam terealisasi. Akankah AS diam? Tetap. Ia akan bereaksi negatif. Instrumen pengereman melalui amputasi peluang ekspor akan ditindaklanjuti dengan manuver lain yang --bisa jadi-- lebih jauh dan sadis: politicking dalam bentuk mengacaukan situasi politik domestik.
Langkah yang dimainkan bukan penciptaan konflik bilateral dan bersifat langsung dengan AS, tapi rekayasa konflik internal, meski instrumen yang dimainkannya sektor moneter. Dari pintu moneter, akan memanas suhu politik sebagai akibat ketidakpercayaan publik terhadap negara yang tidak mampu mengatasi gejolak ekonomi dan moneter. Bisa juga, melalui aksi politik, yakni dukungan (keberpihakan) terhadap kekuatan separatis atau yang berpotensi besar untuk melakukan pemisahan diri dari Pusat.
Jika kita meneropong sejumlah manuver AS dengan berbagai trik-trik jahatnya, maka prospek pemberlakuan dinar-dirham tetap dipertanyakan, terutama jika diharapkan menjadi mata uang regional yang berlaku di negara-negara Islam, misalnya. Karenanya, agenda pemberlakuannya harus lebih realistis: memenuhi permintaan domestik, terutama dalam kerangka menjawab instabilitas ekonomi makro yang dampaknya memprihatinkan bagi kepentingan ekonomi mikro.
Dengan argumen nasionalisme baru ini, kiranya sang produsen dolar akan memberikan kelonggaran tertentu. Di sinilah --jika Pemerintah mengeluarkan regulasi (perizinan) penggunaan mata uang dinar-dirham yang sah sebagai alat transaksi-- maka persebarannya di Tanah Air akan terlihat. Pada akhirnya, persebaran luasnya akan ikut mengurangi inflasi yang selama ini terus membuntuti, juga tidak terombang-ambing oleh ulah para spekulan. Dan itulah kontribusi nyata sistem moneter syariah yang ikut memperkuat sistem perekonomian nasional, sekaligus memperingan beban ekonomi masyarakat
ditulis oleh : Agus Wahid
Direktur Eksekutif The International Institute of Islamic Thought Indonesia (IIIT-I)
Kamis, 12 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar