Akhir pekan lalu, menjelang berakhirnya bulan April 09, terbetik berita bahwa Republik Rakyat Cina (RRC) telah menambah cadangan emasnya, hingga mencapai 1.054 ton. Padahal sebelumnya cadangan emas Cina "cuma" 600 ton. Jadi, penambahannya lebih dari 450 ton, atau sekitar 75% dari cadangan semula. Tapi, siapakah yang paling tamak di dunia ini?
Amerika Serikat (AS) dengan cadangan emas sebesar 8.133.5 ton ada pada posisi nomor wahid, disusul oleh Jerman dengan cadangan 3.412.6 ton. Di posisi ketiga, bertengger International Monetary Fund (IMF), dengan timbunan emas seberat 3.217.3 ton. Pada posisi keempat dan kelima adalah Perancis dan Italia, dengan cadangan emasnya masing-masing 2.508.8 dan 2.451.8 ton. Sedangkan jumlah total emas yang telah ada di permukaan bumi ini, pada 2001, diperkirakan telah mencapai 145 ribu ton.
Dengan total cadangan emas sebanyak ini bukan saja membuat Cina berada pada posisi enam besar penimbun emas dunia, tetapi juga akan mengubah konstelasi ekonomi dunia. Bank Sentral Eropa (BSE), misalnya, hanya memiliki cadangan emas sebesar 533.6 ton. Cina kini memiliki emas hampir dua kali lipat BSE. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Cina menyadari betul betapa sumber kekuatan ekonomi ada pada jumlah emas yang dikuasainya.
Lantas di mana posisi Indonesia?
Dengan hanya memiliki sekitar 73.1 ton emas, jumlah yang bahkan di bawah rata-rata tambahan cadangan Cina, yang mencapai 90 ton/tahun, Indonesia ada di urutan ke-37. Padahal, negeri ini memiliki sumber cadangan emas yang cukup besar, bahkan salah satu deposit emas terbesar di dunia, yakni Grassberg, ada di negeri ini, di Papua Barat. Lalu kemana emas kita? Kemungkinan terbesarnya mudah kita duga: diekspor ke luar negeri. Dengan demikian emas kita justru mengisi kocek negara-negara dan lembaga lain tersebut di atas. Tetapi, siapakah yang menguasai emas-emas tersebut, betulkah negara?
Tabel 1. Daftar Beberapa Negara dan Cadangan Emasnya (Wikipedia, 2009)
Negara/Lembaga Cadangan Emas (ton)
AS 8.133.5
Jerman 3.412.6
IMF 3.217.3
Perancis 2.508.8
Italia 2.451.8
RRC 1.054.0
Indonesia 73.1
Dengan pengamatan sedikit lebih teliti saja kita akan temukan bahwa mayoritas emas itu dimiliki dan ditimbun oleh bank-bank sentral atau lembaga-lembaga keuangan swasta lainnya, seperti IMF. Artinya oleh perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh beberapa gelintir bankir. Memang, tak banyak masyarakat yang menyadari, bahwa bank-bank sentral bukanlah milik pemerintah, melainkan perusahaan-perusahaan swasta. Mayoritas saham Federal Reserve of America (Bank Sentral AS), untuk sekadar sebagai contoh, dimiliki oleh Citibank (15%) dan Chase Manhattan Bank 14%). Sisanya dibagi oleh 25 bank komersial lainnya, antara lain Chemical Bank (8%), Morgan Guaranty Trust (9%), Manufacturers Hannover (7%),dan beberapa perusahaan lainnya.
Sistem riba yang berlangsung saat ini memang menjamin bahwa cadangan emas berada di tangan segelintir orang. Karena itu, kembalinya dinar emas dan dirham perak, sebagai awal kembalinya muamalat merupakan sarana tepat untuk mengembalikan emas ke tangan masyarakat umum. Dari sekoin demi sekoin dinar emas yang ada dalam genggaman masyarakat, akan berpindahlah penguasaan emas ini dari kocek para bankir ke kantong-kantong masyarakat. Hingga, ketika jumlah emas yang ada di tangan masyarakat sudah cukup memadai, perekonomian tak mudah lagi diguncang-guncang. Pemiskinan yang berlangsung terus-menerus melalui inflasi maupun secara tiba-tiba melalui "krisis moneter" tak dapat lagi terjadi.
Di sinilah misi utama jaringan wakala yang ada di pelosok-pelosok negeri Indonesia, sebagaimana dikordinir oleh Wakala Induk Nusantara (WIN), yakni menggerakkan koin-koin dinar hingga emas berpindah dari penguasaan segelintir orang ke seluruh masyarakat, dan pada gilirannya berpindah dari tangan ke tangan melalui perdagangan. Dalam konteks ini pula mungkin ada baiknya kita melongok yang terjadi di Negeri Kelantan, Malaysia, tempat dikampanyekannya Gerakan Satu Keluarga Satu Dinar.
Dengan penduduk sekitar 240 juta orang, dengan asumsi ada 5 orang dalam satu keluarga, di Indonesia ada 48 juta keluarga. Dan dengan setiap keluarga memiliki satu dinar emas, maka akan ada 48 juta x 4.25 gram atau 204 juta gram (204 ribu ton) emas di tangan masyarakat sendiri. Melalui perdagangan, baik barang dan jasa, 48 juta dinar ini pun akan berpindah dari tangan ke tangan, sebagai sarana memeratakan kemakmuran. Melalui perdagangan barang dan jasa maka keluarga buruh-buruh pabrik dan pedagang kaki lima pun dapat memiliki dinar emas. Instrumen kedua berpindanya emas dan perak dari tangan (orang kaya) ke tangan (orang fakir miskin) adalah melalui zakat mal. Setiap tahun seharusnya ada 2.5% dari keseluruhan kekayaan Muslim kaya di Indonesia ini yang berpindah ke kaum papa.
Saat ini, pengenalan dinar dan dirham di Indonesia, harus diakui masih sangat terbatas. Karena itu sosialisasi dan pengenalan melalui kampanye masif, yang didukung oleh berbagai pihak, sangat diperlukan.
penulis : Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara
Baca Selengkapnya..
Senin, 27 April 2009
Selasa, 21 April 2009
Syok Terapi Spekulan Emas
Dalam beberapa pekan terakhir ini terjadi fluktuasi harga emas dan valuta asing yang cukup bergejolak akibat ulah spekulan.
Hal ini ternyata cukup membuat was-was para pemula pengguna koin dinar emas dan dirham perak. Bagaimana tidak cemas, pemakai dinar atau calon wakala yang baru saja membeli dinar emas pertama mereka (akhir Maret s.d. awal April 2009), dengan nilai tukar yang saat itu cukup tinggi, seharga sekitar Rp 1.5 juta, harus mendapati kenyataan bahwa harga dinar saat tulisan ini dibuat (20 April 2009), adalah Rp 1.359.107. Artinya dalam kurun sekitar sebulan ini nilai tukar dinar telah merosot sebesar Rp 140.000/dinar setara 9.3%. Padahal rata-rata apresiasi dinar selama ini adalah 25%/tahun.
Penurunan nilai tukar dinar di atas jelas terkait langsung dengan penurunan harga emas dunia. Harga emas belakangan ini memang merosot tajam dari kisaran USD 900-an menjadi kurang dari 878 per troy ounce. Di sisi lain, dolar saat ini, justru mulai membanjiri dunia. Ada apa ini? Jawabnya: ini adalah syok terapi spekulan emas. Tetapi bagi wakala dan pengguna dinar yang sudah lebih dulu bergelut dengan dinar emas, akan menganggap hal ini sebagai gejala yang sudah biasa saja. Toh, kita bias mengantisipasinya, sampai di mana para spekulan mampu membuat harga emas begitu murah? Setelah murah maka, seperti yang terjadi di masa lampau, harga emas akan kembali melonjak tajam (naik tinggi). Satu hal yang perlu dipahami bersama adalah bahwa aksi spekulasi ini, yang akan membuat nilai tukar dinar emas bergejolak, akan terus berlangsung hinga dinar-dirham benar-benar tersebar luas, dan kembali kepada fungsinya semula, yakni sebagai alat tukar. Ketika jumlah koin dinar sudah begitu banyak ada di tangan masyarakat para spekulan tak lagi bisa menentukan "harganya" secara sepihak. Kita semualah, para pemegang koin emas dan perak, artinya mekanisme pasar, yang akan menentukan nilai tukar tersebut.
Adapun berdiri dan beroperasinya wakala adalah sebagai jembatan penghubung distribusi dinar-dirham, tempat pembelajaran muamalah syar'i, dan kontrol pertama keaslian koin dinar-dirham. Juga beberapa fungsi lain yang bersifat teknis, misalnya menerima titipan dinar-dirham, pengirimannya dari satu kota ke kota lain, dan sebagainya. Dan, lebih dari semua itu, inti dari gerakan kembali kepada dinar dan dirham ini adalah mengajak peran serta masyarakat untuk taat kepada Allah Ta'ala, Rasulullah, sallahualayhi wa salam, serta Amirul Mukminin atau Amir-Amir yang haq, sesuai dengan tuntunan dalam Al Qur'an dan sunnah, serta 'amal.
Dalam pandangan kebanyakan dari kita, yang memang masih kuat diliputi mitos uang kertas, harga emas dan perak itu seakan-akan naik turun setiap hari. Padahal harga emas dan perak itu tetap dan stabil. Tetapi konspirasi internasional yang terdiri dari para bankir, pemilik saham multinasional, dan para Islamophobia, yang bekerja keras untuk memutar balikkan kenyataan. Uang kertas (fiat money) yang nota bene tanpa jaminan apapun, tidak memiliki nilai apa pun kecuali selembar kertas, bergerak liar mengikuti para pemain valas, berfluktuasi setiap menit dalam 24 jam sehari! Tanpa hari libur!
Tapi karena pemerintahan di seluruh dunia saat ini terjajah oleh sistem Dajjal, dan ngotot memaksa penduduk menerima uang kertas sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah, maka kita berhalusinasi bahwa emas-peraklah yang berfluktuasi. Padahal dalam kaidah ilmu mata uang (Numismatik), yang disebut Uang Kartal (uang tunai) adalah koin emas dan koin perak. Sedangkan uang kertas sendiri digolongkan dalam koleksi Notaphili, sekelas dengan Filateli (Prangko). Artinya uang kertas dan prangko hanya berharga sesaat saja, hingga masa berlakunya habis, kadaluarsa seperti makanan dalam kemasan.
Sementara emas dan perak, karena nilai intrinsiknya, dan penerimaannya secara universal oleh umat manusia di dunia ini, memiliki nilai yang tetap. Secara empiris selalu terbukti koin emas dan koin perak tak mengalami inflasi. Sejak zaman Rasulullah sallahualayhi wa salam sampai detik ini satu koin dinar setara 1-2 ekor kambing, 1 koin dirham setara 1 ekor ayam. Karena itu, ketika nilai tukar dinar dan dirham justru "turun" dan "murah" seperti saat ini, inilah waktunya untuk semakin benyak menukarkan uang-uang kertas kita, menjadi koin-koin emas atau perak. Kalaupun diperlukan, belanjakanlah koin dinar atau dirham Anda sebagai alat tukar dengan barang atau jasa sesuai kebutuhan, dan tak perlu ditukarkan kembali menjadi uang kertas.
Catatan:
Numismatik : Ilmu tentang Koleksi Mata Uang Koin
Notaphili : Koleksi Uang Kertas dan Surat Berharga
Filateli : Koleksi Prangko, leges dan surat biasa
Penulis : Sufyan al Jawi - Numismatik Indonesia Baca Selengkapnya..
Hal ini ternyata cukup membuat was-was para pemula pengguna koin dinar emas dan dirham perak. Bagaimana tidak cemas, pemakai dinar atau calon wakala yang baru saja membeli dinar emas pertama mereka (akhir Maret s.d. awal April 2009), dengan nilai tukar yang saat itu cukup tinggi, seharga sekitar Rp 1.5 juta, harus mendapati kenyataan bahwa harga dinar saat tulisan ini dibuat (20 April 2009), adalah Rp 1.359.107. Artinya dalam kurun sekitar sebulan ini nilai tukar dinar telah merosot sebesar Rp 140.000/dinar setara 9.3%. Padahal rata-rata apresiasi dinar selama ini adalah 25%/tahun.
Penurunan nilai tukar dinar di atas jelas terkait langsung dengan penurunan harga emas dunia. Harga emas belakangan ini memang merosot tajam dari kisaran USD 900-an menjadi kurang dari 878 per troy ounce. Di sisi lain, dolar saat ini, justru mulai membanjiri dunia. Ada apa ini? Jawabnya: ini adalah syok terapi spekulan emas. Tetapi bagi wakala dan pengguna dinar yang sudah lebih dulu bergelut dengan dinar emas, akan menganggap hal ini sebagai gejala yang sudah biasa saja. Toh, kita bias mengantisipasinya, sampai di mana para spekulan mampu membuat harga emas begitu murah? Setelah murah maka, seperti yang terjadi di masa lampau, harga emas akan kembali melonjak tajam (naik tinggi). Satu hal yang perlu dipahami bersama adalah bahwa aksi spekulasi ini, yang akan membuat nilai tukar dinar emas bergejolak, akan terus berlangsung hinga dinar-dirham benar-benar tersebar luas, dan kembali kepada fungsinya semula, yakni sebagai alat tukar. Ketika jumlah koin dinar sudah begitu banyak ada di tangan masyarakat para spekulan tak lagi bisa menentukan "harganya" secara sepihak. Kita semualah, para pemegang koin emas dan perak, artinya mekanisme pasar, yang akan menentukan nilai tukar tersebut.
Adapun berdiri dan beroperasinya wakala adalah sebagai jembatan penghubung distribusi dinar-dirham, tempat pembelajaran muamalah syar'i, dan kontrol pertama keaslian koin dinar-dirham. Juga beberapa fungsi lain yang bersifat teknis, misalnya menerima titipan dinar-dirham, pengirimannya dari satu kota ke kota lain, dan sebagainya. Dan, lebih dari semua itu, inti dari gerakan kembali kepada dinar dan dirham ini adalah mengajak peran serta masyarakat untuk taat kepada Allah Ta'ala, Rasulullah, sallahualayhi wa salam, serta Amirul Mukminin atau Amir-Amir yang haq, sesuai dengan tuntunan dalam Al Qur'an dan sunnah, serta 'amal.
Dalam pandangan kebanyakan dari kita, yang memang masih kuat diliputi mitos uang kertas, harga emas dan perak itu seakan-akan naik turun setiap hari. Padahal harga emas dan perak itu tetap dan stabil. Tetapi konspirasi internasional yang terdiri dari para bankir, pemilik saham multinasional, dan para Islamophobia, yang bekerja keras untuk memutar balikkan kenyataan. Uang kertas (fiat money) yang nota bene tanpa jaminan apapun, tidak memiliki nilai apa pun kecuali selembar kertas, bergerak liar mengikuti para pemain valas, berfluktuasi setiap menit dalam 24 jam sehari! Tanpa hari libur!
Tapi karena pemerintahan di seluruh dunia saat ini terjajah oleh sistem Dajjal, dan ngotot memaksa penduduk menerima uang kertas sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah, maka kita berhalusinasi bahwa emas-peraklah yang berfluktuasi. Padahal dalam kaidah ilmu mata uang (Numismatik), yang disebut Uang Kartal (uang tunai) adalah koin emas dan koin perak. Sedangkan uang kertas sendiri digolongkan dalam koleksi Notaphili, sekelas dengan Filateli (Prangko). Artinya uang kertas dan prangko hanya berharga sesaat saja, hingga masa berlakunya habis, kadaluarsa seperti makanan dalam kemasan.
Sementara emas dan perak, karena nilai intrinsiknya, dan penerimaannya secara universal oleh umat manusia di dunia ini, memiliki nilai yang tetap. Secara empiris selalu terbukti koin emas dan koin perak tak mengalami inflasi. Sejak zaman Rasulullah sallahualayhi wa salam sampai detik ini satu koin dinar setara 1-2 ekor kambing, 1 koin dirham setara 1 ekor ayam. Karena itu, ketika nilai tukar dinar dan dirham justru "turun" dan "murah" seperti saat ini, inilah waktunya untuk semakin benyak menukarkan uang-uang kertas kita, menjadi koin-koin emas atau perak. Kalaupun diperlukan, belanjakanlah koin dinar atau dirham Anda sebagai alat tukar dengan barang atau jasa sesuai kebutuhan, dan tak perlu ditukarkan kembali menjadi uang kertas.
Catatan:
Numismatik : Ilmu tentang Koleksi Mata Uang Koin
Notaphili : Koleksi Uang Kertas dan Surat Berharga
Filateli : Koleksi Prangko, leges dan surat biasa
Penulis : Sufyan al Jawi - Numismatik Indonesia Baca Selengkapnya..
Minggu, 19 April 2009
Penetapan Standar Dinar Dirham
Secara historis pemakaian koin emas dan koin perak sebagai alat tukar telah berlangsung sebelum Islam datang, termasuk di Jazirah Arab tentu saja. Sebutan dinar, misalnya, berasal dari koin Rumawi, denarius, sedangkan dirham berasal dari koin Persia, drachma.
Oleh sebagian orang kenyataan sejarah ini lalu dipahami sebagai kenyataan bahwa Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, tidak menetapkan suatu ketentuan baru tentang dinar dan dirham, tetapi sekadar meneruskannya (men-taqrir-nya). Bahkan, lebih dari itu, ada pula yang menjadikannya sebagai argumen bahwa Islam tidak mengharuskan mata uangnya terbuat dari emas atau perak.
Memang benar, dari berbagai riwayat, kita tahu Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, menyebutkan sejumlah komoditi yang bisa dipakai sebagai alat tukar, yaitu emas, perak, terigu, syai�r (sejenis jewawut), kurma dan garam. Pengertian paling pokok dari contoh-contoh ini adalah bahwa alat tukar haruslah terbuat dari komoditi yang lazim dipakai sebagai alat tukar. Artinya, dalam keadaan tidak ada atau kekurangan emas atau perak, maka komoditi lainnya, sepanjang lazim diterima sebagai alat tukar, dapat dapat ditakar atau ditimbang secara baku, dapat diberlakukan sebagai mata uang. Di Indonesia, misalnya, beras dapat digunakan sebagai alat tukar yang valid. Juga, berbeda dengan uang kertas, suatu alat tukar tidak boleh dipaksakan penerimaan dan pemakaiannya. Penerbitan mata uang juga tidak boleh dimonopoli oleh satu pihak, seperti saat ini berlangsung, di tangan bank-bank sentral.
Kenyataannya, dalam perjalanan kehidupan manusia yang sudah begitu panjang, komoditi terbaik yang lazim dipakai sebagai alat tukar adalah emas dan perak, yang sampai pada awal kehadiran Islam, banyak berasal dari Rumawi (dinarius) dan Persia (drachma). Tetapi, koin Romawi dan koin Persia tersebut bukanlah koin emas dan perak yang seragam yang beredar di Jazirah Arab ketika itu. Ukurannya pun ada beberapa macam. Baru sesudah ditetapkan ukuran-ukuran dan takarannya oleh Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, koin dinar dan dirham di Madinah memiliki kebakuan.
Sofyan Al Jawi, seorang ahli numismatik Indonesia yang saat ini juga mengoperasikan salah satu wakala di Jakarta (Wakala Al Faqi, Cilincing), menjelaskan bahwa penetapan ketentuan tentang standar dinar dan dirham itu dilakukan oleh Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, pada tahun ke-2 Hijriah, bermula dari adanya sebuah sengketa di pasar. Ketika Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, tiba di Madinah penduduknya biasa menggunakan dirham perak dengan cara hitungan bilangan, sementara pendatang dari Mekah terbiasa menggunakannya dalam hitungan timbangan. Maka, terjadilah sengketa, antara Aisyah (seorang muhajirin) dan Burairah (seorang nshar).
Dalam suatu riwayat disebutkan adanya tiga dirham yang berbeda kadarnya ketika itu, yaitu dirham besar 20 qirat, dirham sedang 12 qirat, dan dirham kecil 10 qirat. Atas sengketa di atas, Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, memberikan petunjuknya, agar koin-koin dirham itu dihitung bukan dengan cara membilangnya tetapi menimbangnya. Dari hadits yang diriwayatkan oleh Thawus dari Ibnu Umar, dari perkataan Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, ��Timbangan (wazan) adalah timbangannya penduduk Mekkah, dan takaran (mikyal) adalah takarannya penduduk Madinah.� (HR. Abu Daud dan Nasai), kita mendapatkan pembakuan dinar dan dirham.
Cara Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, menetapkan standar adalah dengan menghitung rata-rata berat dirham yang ada, yaitu: 2 0+10 +12 = 42 qirat yang kemudian dibagi tiga, menghasilkan 14 qirat. Jadi, timbangan dirham menurut syar�it adalah seberat 14 qirat. Sedangkan perbandingannya dengan koin dinar (1 mitsqal) ditetapkan menjadi 14/20 mitsqal, karena 1 mitsqal sama dengan 20 qirat. Maka satuan dirham adalah seberat 7/10 mitsqal atau 2,975 gram dengan kadar koin perak Sasanid (perak murni). Koin dinar yang ditetapkan adalah seberat 1 mitsqal. Jadi, tiap-tiap 7 dinar setara dengan 10 dirham, dalam timbangannya. Kita mendapatinya 1 dinar adalah 4.25 gr emas, dengan kelipatannya untuk satuan yang lebih besar (2 dinar dan seterusnya) atau lebih kecil (0.5 dinar).
Dengan mengacu kepada ketetapan nilai yang telah dibakukan itulah Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, kemudian menetapkan ketentuan-ketentuan syariat lainnya yang berkaitan dengannya. Ketetapan terpenting, tentu saja, adalah nisab zakat, yang ditentukan sebesar 20 dinar emas dan 200 dirham perak. Demikian juga ketentuan tentang hudud (seperti batas hukum potong tangan, 0.25 dinar emas) atau diyat (1000 dinar). Dari sini mengikuti hukum-hukum muamalat lain seperti qirad dan syirkat hanya sah bila dilakukan dengan dinar emas atau dirham perak.
Jadi, jelas sekali, bahwa tanpa dinar emas dan dirham perak syariat Islam tak dapat ditegakkan, karena keduanya bertalian langsung dengan begitu banyak ketentuan syariat Islam. Meskipun, sampai Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, wafat, dinar emas dan dirham perak yang beredar masih berasal dari Rumawi dan Persia. Dirham perak dan dinar emas pertama yang dicetak sendiri oleh para pemimpin Muslim bertahun 694-695 M atau 74-75 H, di zaman Khalifah Abdalmalik, lebih dari setengah abad sesudah Rasulullah wafat.
penulis : Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara Baca Selengkapnya..
Oleh sebagian orang kenyataan sejarah ini lalu dipahami sebagai kenyataan bahwa Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, tidak menetapkan suatu ketentuan baru tentang dinar dan dirham, tetapi sekadar meneruskannya (men-taqrir-nya). Bahkan, lebih dari itu, ada pula yang menjadikannya sebagai argumen bahwa Islam tidak mengharuskan mata uangnya terbuat dari emas atau perak.
Memang benar, dari berbagai riwayat, kita tahu Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, menyebutkan sejumlah komoditi yang bisa dipakai sebagai alat tukar, yaitu emas, perak, terigu, syai�r (sejenis jewawut), kurma dan garam. Pengertian paling pokok dari contoh-contoh ini adalah bahwa alat tukar haruslah terbuat dari komoditi yang lazim dipakai sebagai alat tukar. Artinya, dalam keadaan tidak ada atau kekurangan emas atau perak, maka komoditi lainnya, sepanjang lazim diterima sebagai alat tukar, dapat dapat ditakar atau ditimbang secara baku, dapat diberlakukan sebagai mata uang. Di Indonesia, misalnya, beras dapat digunakan sebagai alat tukar yang valid. Juga, berbeda dengan uang kertas, suatu alat tukar tidak boleh dipaksakan penerimaan dan pemakaiannya. Penerbitan mata uang juga tidak boleh dimonopoli oleh satu pihak, seperti saat ini berlangsung, di tangan bank-bank sentral.
Kenyataannya, dalam perjalanan kehidupan manusia yang sudah begitu panjang, komoditi terbaik yang lazim dipakai sebagai alat tukar adalah emas dan perak, yang sampai pada awal kehadiran Islam, banyak berasal dari Rumawi (dinarius) dan Persia (drachma). Tetapi, koin Romawi dan koin Persia tersebut bukanlah koin emas dan perak yang seragam yang beredar di Jazirah Arab ketika itu. Ukurannya pun ada beberapa macam. Baru sesudah ditetapkan ukuran-ukuran dan takarannya oleh Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, koin dinar dan dirham di Madinah memiliki kebakuan.
Sofyan Al Jawi, seorang ahli numismatik Indonesia yang saat ini juga mengoperasikan salah satu wakala di Jakarta (Wakala Al Faqi, Cilincing), menjelaskan bahwa penetapan ketentuan tentang standar dinar dan dirham itu dilakukan oleh Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, pada tahun ke-2 Hijriah, bermula dari adanya sebuah sengketa di pasar. Ketika Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, tiba di Madinah penduduknya biasa menggunakan dirham perak dengan cara hitungan bilangan, sementara pendatang dari Mekah terbiasa menggunakannya dalam hitungan timbangan. Maka, terjadilah sengketa, antara Aisyah (seorang muhajirin) dan Burairah (seorang nshar).
Dalam suatu riwayat disebutkan adanya tiga dirham yang berbeda kadarnya ketika itu, yaitu dirham besar 20 qirat, dirham sedang 12 qirat, dan dirham kecil 10 qirat. Atas sengketa di atas, Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, memberikan petunjuknya, agar koin-koin dirham itu dihitung bukan dengan cara membilangnya tetapi menimbangnya. Dari hadits yang diriwayatkan oleh Thawus dari Ibnu Umar, dari perkataan Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, ��Timbangan (wazan) adalah timbangannya penduduk Mekkah, dan takaran (mikyal) adalah takarannya penduduk Madinah.� (HR. Abu Daud dan Nasai), kita mendapatkan pembakuan dinar dan dirham.
Cara Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, menetapkan standar adalah dengan menghitung rata-rata berat dirham yang ada, yaitu: 2 0+10 +12 = 42 qirat yang kemudian dibagi tiga, menghasilkan 14 qirat. Jadi, timbangan dirham menurut syar�it adalah seberat 14 qirat. Sedangkan perbandingannya dengan koin dinar (1 mitsqal) ditetapkan menjadi 14/20 mitsqal, karena 1 mitsqal sama dengan 20 qirat. Maka satuan dirham adalah seberat 7/10 mitsqal atau 2,975 gram dengan kadar koin perak Sasanid (perak murni). Koin dinar yang ditetapkan adalah seberat 1 mitsqal. Jadi, tiap-tiap 7 dinar setara dengan 10 dirham, dalam timbangannya. Kita mendapatinya 1 dinar adalah 4.25 gr emas, dengan kelipatannya untuk satuan yang lebih besar (2 dinar dan seterusnya) atau lebih kecil (0.5 dinar).
Dengan mengacu kepada ketetapan nilai yang telah dibakukan itulah Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, kemudian menetapkan ketentuan-ketentuan syariat lainnya yang berkaitan dengannya. Ketetapan terpenting, tentu saja, adalah nisab zakat, yang ditentukan sebesar 20 dinar emas dan 200 dirham perak. Demikian juga ketentuan tentang hudud (seperti batas hukum potong tangan, 0.25 dinar emas) atau diyat (1000 dinar). Dari sini mengikuti hukum-hukum muamalat lain seperti qirad dan syirkat hanya sah bila dilakukan dengan dinar emas atau dirham perak.
Jadi, jelas sekali, bahwa tanpa dinar emas dan dirham perak syariat Islam tak dapat ditegakkan, karena keduanya bertalian langsung dengan begitu banyak ketentuan syariat Islam. Meskipun, sampai Rasulullah , sallalahu alayhi wa sallam, wafat, dinar emas dan dirham perak yang beredar masih berasal dari Rumawi dan Persia. Dirham perak dan dinar emas pertama yang dicetak sendiri oleh para pemimpin Muslim bertahun 694-695 M atau 74-75 H, di zaman Khalifah Abdalmalik, lebih dari setengah abad sesudah Rasulullah wafat.
penulis : Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara Baca Selengkapnya..
Langganan:
Postingan (Atom)